PERJALANAN NYANTRI ABAH KIAI NASHIRUDDIN

 


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pertama puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang mana telah memberi nikmat kepada kita berupa kesehatan dan iman. Sholawat serta salam kita haturkan kepada beliau rasulullah nabi pembawa cahaya, nabi akhir zaman.

Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada tim yang telah memberi kehormatan kepada saya untuk menceritakan pengalaman saya selama mondok di mamba’us sholihin. Semoga kisah ini tidak membuat ujub diri ini, dan semoga Allah selalu melindungi saya dari sifat yang tercela, serta membimbing ke jalan yang benar. Amin

Berawal dari seorang pemuda berusia 20 tahun dari desa Katerban kecamatan Senori kabupaten Tuban, tetapi orang tuanya tidak mampu. Pemuda tersebut bernama Nashiruddin. Anak dari seorang ibu bernama Sugi dan bapak bernama Kasmin. yang bercita-cita ingin bisa mengaji. Dari keinginannya tersebut, terbesit di hatinya bahwa menurut penuturan dari orang tua ke orang tua, beliau masih ada kerabat dari mbah Jabbar (Syeikh Abdul Jabbar, Nglirip). Dalam pikirannya “kalo memang dirinya masih ada kerabat dari mbah jabbar, dia pasti bias mengaji.”

Akhirnya, beliau pergi ke makam mbah Jabbar untuk berziarah beberapa hari, kurang lebih satu bulan lamanya, di situ dia bertemu dengan pak Afandi dari Lajo, dan diajari Shorof selama satu bulan hafal Shorof. Setelah pulang dari ziarah, beliau pergi menuntut ilmu ke Sarang ikut mengabdi di mbah Yai Umar sarang. Tapi hanya bertahan 1 bulan, lalu pulang.

Tidak hanya sampai di situ keinginannya untuk bisa mengaji. Dilanjutkan pergi ke Bojonegoro, Baureno berguru ke mbah karjan. 6 bulan lalu pulang. Lalu beliau pergi ke Gresik untuk bekerja beberapa waktu, kemudian pergi ke Langitan untuk mondok dan mengabdi ke mbah Yai Faqih. Tetapi oleh mbah Yai Faqih tidak diterima, karena beliau sudah mempunyai 16 khodam. Mbah Yai Faqih berkata “urung ndisik Gus, nang pondok ndisik, sok mben nek khodame enek sing mantuk, tak celuk”  tapi beliau langsung pulang dan pergi ke Gresik lagi untuk mencari pekerjaan di Petro sebagai kuli bangunan untuk membeli pakaian dan sarung, guna sangu menuntut ilmu di pondok.

Tujuan pondok berikutnya adalah di Bungah Gresik, tetapi tidak jadi, beliau diajak temannya pergi ke Suci kerja di rumahnya mbah H. Abdullah. Di situ beliau mendengar ada pondok baru yaitu pondok Mamba’us Sholihin, beliau mondok sebagai santri pertama dari Tuban, sambil bekerja di rumah H. Abdullah sekitar 1 tahun lamanya.

Kemudian suatu hari, beliau sowan ke Yai Masbuhin untuk menjadi khodam, dan langsung diterima. Semenjak itu beliau memnuntut ilmu sambil menjadi khodam bersama temanya yaitu: Kusnan, Kusni, Tarno dan Asrori. Di samping mengaji beliau juga sekolah.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa pada diri beliau, sama seperti santri yang lain, yaitu mengaji dan sekolah. Yang membedakan beliau juga menjadi khodam di ndalem, dengan aktifitas sehari-hari mengaji, sekolah dan membantu pekerjaan ndalem, ditambah mengerjakan sawah dan kebun Yai.

Sebuah pengalaman menarik, beliau pernah diajak bu Nyai pergi ke pasar, bu Nyai berjalan di depan sambil meletakkan dompetnya di bawah ketiak, beliau mengikuti di belakang. Setelah berjalan beberapa waktu, bu Nyai mau membeli belanjaan, ketika mau membayar, ternyata dompetnya hilang, bu Nyai tidak jadi belanja dan langsung pulang. Setelah sampai di rumah, beliau bercerita kepada romo Yai bahwa uangnya hilang. Seketika Yai mengucapkan “Alhamdulillah, duwik e ilang”  sambil tertawa. Pikir beliau, uangnya hilang kok alhamdulillah? Ternyata, setelah beliau pulang dan sering muthola’ah kitab dan menyampaikan kepada murid-muridnya, baru mengerti pernyataan Yai kala itu. Bahwasanya harta itu hendaknya diletakkan di tangan, bukan di dalam hati. Sehingga jika harta itu hilang tidak sampai bingung dan menyesal berkepanjangan.

Pernah juga suatu hari, beliau tidak masuk sekolah, dan pergi menggarap kebun, ketika bertemu Romo Yai, di depan sekolah Yai menjewer beliau mulai dari depan sekolah sampai masuk kelas. Itu merupakan pengalaman yang sangat berkesan untuknya.

Beliau juga selalu ingat untuk semangat dalam menuntut ilmu, dari dawuh yai “aku ora seneng yen duwe khodam ora iso moco kitab, aku rugi nek ngingoni.”  Dawuh Yai itulah yang membuat beliau bersemangat dalam menuntut ilmu dan selalu taat apa yang didawuhkan yai tanpa berfikir panjang, langsung dikerjakan dan dijalani. Seperti pada saat mengaji kitab Minhajul ‘Abidin yang membahas bab Tawakkal, pada saat itu diutus oleh romo yai pergi ke Batu Ampar untuk membuktikan bahwa Allah selalu memberi rizqi dan pertolongan kepada makhluknya yang bertawakkal, seperti penjelasan kitab yang dikaji pada waktu itu.

Ketika diutus romo Yai, beliau langsung berangkat tanpa berfikir panjang apakah punya saku atau tidak, yang penting berangkat dengan bekal uang 500 rupiah untuk naik kapal menuju Madura dengan tiket seharga 500 rupiah. Jadi beliau pergi ke Madura tanpa bekal uang dan makanan. Beliau berjalan mengikuti langkah kakinya menuju.

Ternyata benar. Apa yang dikatakan Allah dalam kitabnya. Bahwa Allah memberikan Rizqi kepada setiap Makhluqnya. Dalam perjalanan selalu ada yang mengajak beliau makan di warung. Setelah selesai makan beliau melanjutkan perjalannya ke Batu Ampar yang ditempuh dalam waktu 3 hari 2 malam.

Tiba di Batu Ampar saat pagi hari, di pesarean mbah Syamsuddin selama 1 bulan, setiap hari membaca Al Qur’an hingga mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak 11 kali. Di hari ke 3, yai Masbuhin tiba di Batu Ampar untuk menengok beliau. Setelah satu bulan di pesarean mbah Syamsuddin, beliau kembali ke pondok.

Dalam perjalanan pulang, beliau disuruh menjadi imam sholat Maghrib di mushola setempat. Selesai sholat maghrib, beliau melanjutkan perjalanannya. Di perjalanan beliau bertemu dengan nenek tua dan diajak ke rumahnya. Lalu disuruh mandi dan diberi makan. Setelah makan lalu tidur. Keesokan harinya, setelah sarapan, oleh nenek tersebut diberi sebuah gulungan berwarna hitam, sambil nenek itu bilang “iki warisan dari almarhum, teko Jowo, dibalekno nak Jowo”  setelah menerima gulungan itu, beliau berpamitan melanjutkan perjalanan, setelah 15 meter melangkah, gulungan itu dibuka dan ternyata isinya baju rompi Onto Kusumo  berwarna hitam.

Setelah perjalanan 1 hari 1 malam, beliau tiba di makam mbah kholil dan berziarah selama 3 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke pondok 1 hari. Jadi perjalanan kembali ke pondok dari batu Ampar ditempuh dalam waktu 1 hari 2 malam dengan jalan kaki. Setelah tiba di pondok, beliau lalu sowan ke romo Yai Masbuhin dan memnceritakan semua yang dialaminya, dan Yai diam saja.

Setelah itu pada malam harinya, diutus ziarah ke makam mbah santri jam 12 malam selama 40 hari. Dan langsung dilaksanakan tanpa bertanya apa? Dan untuk apa?, yang penting diperintah langsung dilaksanakan begitu saja.

Selain itu, setiap Jum’at beliau selalu berziarah ke sunan Giri. Itulah aktifitas beliau, tidak ada yang istimewa, sebagai santri beliau menjalankan kegiatan santri, yaitu ngaji, dan taat terhadap apa yang didawuhkan kepadanya. Hanya 1 hal, yang tidak beliau laksanakan yaitu untuk mengabdi di pak Saifullah di Subang Jawa Barat. Beliau matur ke Yai mau pulang ke desa, urip-urip Agama di desa, sambil mulang  di mushola. Itulah cita-citanya.

Cita-cita yang sederhana itu, ternyata oleh Allah diberikan lebih, yaitu menjadi guru madrasah Aliyah di pondok AL Hikmah Binangun, di MTs dan Aliyah di AL Ghozaliyah Kedung Kebo serta menjadi guru dan kepala sekolah di MI Al Falah di desanya, Katerban. Kurang lebih menjadi kepala sekolah 20 tahun. Dan sekarang berkhidmah di Mamba’us Sholihin 8. Itu karena kasih sayang dan karunia Allah yang beliau syukuri setiap detiknya. Yang telah memberinya lebih dari apa yang beliau cita-citakan.

Mengenai baju rompi Onto Kusumo akhirnya beliau serahkan kepada Yai Masbuhin. Karena di tangan beliau baju itu sering dipinjam orang lain, beliau khawatir akan disalah gunakan. Tidak sampai di situ, ketaatan beliau berlanjut hingga beliau menikah dan mempunya anak. Hingga Yai dawuh dan meminta kepada beliau langsung disetujui. Beliau tidak berfikir panjang, yang ada dalam benaknnya yang akan menata  adalah Allah SWT dalam kehidupannya. Itulah yang beliau jalani, selalu taat kepada gurunya.

Pesan beliau kepada santri yang lain, dalam memnuntut ilmu hendaknya yang sungguh-sungguh, jangan memikirkan besok jadi apa? atau kerja apa?. Yang penting waktu menuntut ilmu dijalankan dengan sungguh-sungguh untuk membuat jalan yang akan ditempuh dan dilalui. Serta mempunyai cita-cita yang mulia. Nanti Allah yang akan memberi jalan dan kemudahan dalam setiap urusan dan usaha. Itu yang beliau rasakan dari pulang menuntut ilmu di pondok sampai sekarang ini.

Beliau berdo’a kepada Allah, semoga Allah selalu memberi kesehatan, kekuatan, keberhasilan dan dibimbing ke jalan yang diridhoi oleh Allah kepada kita, dan Allah selalu menyertai dalam setiap langkah dari awal sampai akhir nafas berhembus diberikan kebaikan dan pertolongan serta ridho Allah SWT kepada kita. Dan pondok pesantren Mamba’us Sholihin beserta cabang-cabangnya dengan seluruh santrinya dijadikan Allah menjadi pondok yang barokah santri yang barokah serta menjadi santri yang alim, sholih dan kafi sampai akhir zaman, khusnul khotimah. Amin Ya Robbal Alamin. Itulah kisah perjalanan beliau abah Nashiruddin dari Katerban Senori Tuban selama 6 tahun mondok di Mamba’us Sholihin Suci (1984 – 1990) semoga bermanfaat dan dapat dipetik hikmahnya. Amin..

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.