Hikmah Ramadhan Melacak Sejarah Ramadlân & Syariat Puasa

Salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang paling terkenal tentang rukun Islam adalah yang berbunyi : Islam didirikan atas 5 [perkara], [1] Bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya, [2] Mendirikan shalat, [3] Menunaikan zakat, [4] Berpuasa di bulan Ramadlân, dan [5] Melaksanakan haji bagi yang mampu. Hadits tersebut sangat populer di kalangan muslim karena menjadi tiang atau dasar bagi sendi-sendi syariat Islam. Selain karena menjadi tiang, alasan kepopuleran lainnya adalah karena Nabi Muhammad SAW menjelaskan rukun-rukun itu ketika malaikat Jibrîl yang menjelma menjadi seorang pemuda menanyakannya.
Kata Ramadlân berasal dari akar kata dasar r-m-dl, atau ra-mi-dla yang berarti “panas” atau “panas yang menyengat”. Kata itu berkembang –sebagaimana biasa terjadi dalam struktur bahasa Arab– dan bisa diartikan “menjadi panas, atau sangat panas”, atau dimaknai “hampir membakar”. Jika orang Arab mengatakan Qad Ramidla Yaumunâ, maka itu berarti “hari telah menjadi sangat panas”. Ar-Ramadlu juga bisa diartikan “panas yang diakibatkan sinar matahari”. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Ramadlân adalah salah satu nama Allah SWT. Tetapi, penulis merasa pendapat ini lemah karena tidak memiliki argumentasi literal.
Demikianlah istilah bulan Ramadlân diambil dari kalimat ramidla-yarmadlu, yang berarti “panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus”. Keterangan-keterangan tentang lafadz Ramadlân ini disampaikan oleh Muhammad bin Abû Bakar bin Abdul Qâdir Al-Râzî [w. 721 H.] dalam kamus Mukhtâru-sh-Shihhâh dan Muhammad bin Mukarram bin Mandzûr Al-Mashrî [630-711 H.], yang terkenal dengan sebutan Ibnu Mandzûr, dalam karya monumentalnya, Lisânu-l-‘Arab.
Sedangkan puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyâm atau Shaûm –keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja Sha-wa-ma–, yang secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain [Al-Syaukânî, 1173-1255 H., Fathu-l-Qadîr]. Shiyâm atau Shaûm merupakan qiyâm bilâ ‘amal, yang berarti ‘beribadah tanpa bekerja’. Dikatakan ‘tanpa bekerja’ karena puasa itu sendiri bebas dari gerakan-gerakan [harakât], baik gerakan itu berupa: berdiri, berjalan, makan, minum dan sebagainya. Sehingga, Ibnu Durayd –sebagaimana dinukil dalam Al-Âlûsî– mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak, berarti sesuatu itu Shiyâm, sedang ber-puasa. Selain itu, puasa, sebagaimana penulis sebutkan di atas, berarti ‘menahan’ dari sesuatu pekerjaan. Dan ‘sesuatu’ itu telah ditentukan oleh syariat. Dengan begitu, dalam syariat, puasa memiliki pengertian tersendiri.
Makna puasa yang “menahan” ini juga terlihat jelas tatkala kita menelusuri sejarah bahasa shiyâm atau Shaûm.
Ibnu Mandzûr, pakar sejarah bahasa Arab yang hampir tiada duanya, dalam hasil pelacakannya atas asal-muasal kata, mendefinisikan Shaûm sebagai “hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara”. Definisi ini adalah definisi paling asli dan sahih dalam sejarah bahasa Arab. Ini cocok dengan keterangan Al-Qur’an, misalnya, pada kisah Sayyidah Maryam saat menjawab cemoohan-cemoohan orang-orang kepadanya, "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini" [QS. 19:26]. ‘Puasa’ yang dimaksud Sayyidah Maryam di situ adalah “menahan untuk tidak bicara”.
Di sini, sifat ‘menahan’ menjadi titik atau letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah yang lainnya. Apapun amal ibadah seseorang, pasti akan dapat diketahui dari sisi dhâhir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi, untuk puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan dzahîr atau fisik. Pantaslah jika Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya’ --memperlihatkan kebaikan tertentu-- adalah puasa.
Melihat keterangan-keterangan Ibnu Mandzûr dan Al-Râzî tersebut di atas, baik tentang makna Ramadlân maupun puasa, ada indikasi bahwa seolah-olah turunnya syariat puasa, setidaknya, bersamaan waktunya dengan kelahiran bulan Ramadlân. Hal tersebut bisa dibenarkan, tentunya, dikarenakan kedua kata itu memiliki relasi makna yang dekat dan saling bersentuhan, yaitu sama-sama ‘panas’ atau ‘kering’ yang disebabkan ‘berpuasa’.
Muncul pertanyaan, sejak kapan pastinya bulan Ramadlân itu ada dan sejak kapan pastinya puasa Ramadlân disyariatkan, sehingga beliau berdua mengaitkan syariat ini dengan maknanya sebagai “panas, kering atau haus”? Dan sejak kapan puasa diberlakukan kepada umat manusia? Bagaimana dengan puasa-puasa terdahulu yang dilakukan tidak di bulan Ramadlân? Pertanyaan-pertanyaan ini akan penulis bahas dengan menelaah kembali ayat Al-Qur’an yang menyangkut syariat untuk melakukan puasa.
Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa adalah surat Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi,”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa…”. Ayat tersebut turun tanpa sebab-sebab tertentu, sebagaimana terjadi pada kebanyakan ayat-ayat ahkâm –ayat yang berkenaan dengan hukum–, yang turun setelah ada peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi pada Nabi SAW atau para sahabat.
Pada ayat yang turun ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah [Madanî] ini telah disebutkan sebuah informasi yang menyatakan “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”.
Ada dua [2] persoalan pokok pada ayat tersebut yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya para mufassir. Perbedaan pertama menyangkut kalimat “sebagaimana diwajibkan”. Ini menjadi persoalan karena munculnya pertanyaan; apakah kesamaan berpuasa yang diwajibkan atas kaum “sebelum kamu” adalah puasa di bulan Ramadlân, atau kesamaan itu hanya meliputi hal syariat berpuasa saja, sedangkan waktunya berada di bulan lain [?].
Pada persoalan ini, perbedaan timbul di antara dua pendapat. Yang pertama, dimotori Sa’îd bin Jabîr RA [w. 95 H.], yang cenderung memaknai hukum tasybîh [penyerupaan atau penyamaan] itu hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa lama dan pada bulan apa berpuasa. Pendapat ini berdasar pada realitas sejarah dimana masyarakat Jahiliyah masih mengenali syariat tersebut, walaupun telah menjadi ‘sejarah’ serta tidak dilakukan di bulan Ramadlân yang sudah dikenal. Bisa jadi pendapat ini menyandarkan kepada salah satu firman Allah SWT tentang bermacam-macamnya syariat bagi masing-masing umat manusia, “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu --maksudnya: umat Nabi Muhammad SAW dan umat-umat yang sebelumnya--, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” [QS. 5:48].
Pendapat kedua lebih terfokus pemahamannya kepada lama hari berpuasa dan bulan diwajibkannya berpuasa. Lebih tepatnya, pendapat kedua ini mengarahkan perhatiannya kepada ayat selanjutnya, pada ayat 184, yang berbunyi, “[yaitu] dalam beberapa hari yang tertentu” [ayyâman ma’dûdât].  Dengan demikian, secara global ulama kelompok ini berpendapat bahwa puasa Ramadlan sebagaimana kaum muslimin lakukan selama ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu.
Dasar pendapat ini tentu banyaknya riwayat yang menjelaskan tentang hal itu. Antara lain sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullâh bin ‘Umar RA [w. 73 H.], sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsîr [701-774 H.] dalam tafsirnya, bahwa Nabi SAW bersabda “Puasa bulan Ramadlân telah diwajibkan oleh Allah SWT atas umat sebelum kamu”.
Pada pendapat yang kedua ini masih terjadi ikhtilâf [perbedaan], apakah selama “beberapa hari yang tertentu” [ayyâman ma’dûdât] berpuasa --yang diwajibkan pada kaum dahulu itu-- adalah berupa sebulan penuh dalam Ramadlân atau bulan-bulan lainnya [?].
Ada dua [2] pendapat, pertama menyatakan bahwa puasa yang disyariatkan pada umat terdahulu adalah berupa puasa selama tiga [3] hari pada setiap bulan. Abdullâh bin ‘Abbâs RA [w. 69 H.]  mengatakan, ”Syariat sebelumnya adalah puasa tiga hari setiap bulan, lalu syariat ini di-nasakh dengan syariat yang baru, melalui surat Al-Baqarah ayat 185” [Tafsîr Zâd-l-Mashîr]. Pendapat kedua mengklaim bahwa “hari-hari tertentu” yang dimaksud adalah bulan Ramadlân itu sendiri. Jadi, pada bulan Ramadlân jugalah umat-umat dahulu diwajibkan berpuasa.
Al-Suday menyatakan bahwa orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syariat puasa di bulan Ramadlân. Tetapi, karena mereka merasakan berat, mereka kemudian merubahnya dengan berpuasa di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari. Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh hari sebelum dan sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga, mereka berpuasa selama lima puluh hari. Ibnu Jarîr [224-310 H.] secara lebih berani meyakini seyakin-yakinnya adanya syariat puasa di bulan Ramadlan bagi Nasrani [Tafsîr al-Thabarî]. Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga memiliki syariat puasa di bulan Ramadlân, menggantinya dengan puasa sehari dalam setahun. Hal itu, dalam informasi yang dimiliki Syihâbuddîn Al-Âlûsî [w. 1270 H.], penulis Tafsîr Rûh-l-Ma’ânî, merupakan klaim mereka bahwa hari itu adalah hari tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya di laut Merah.
Perbedaan kedua –dalam menelaah ayat syariat puasa itu– adalah tentang siapa yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu”. Pendapat pertama mengatakan yang dimaksud adalah ”orang-orang ahlul kitâb”, yaitu mereka-mereka yang masih berpegang kepada kitab agama-agama sebelum Islam [Yahudi dan Nasrani]. Pendapat kedua menyebutkan kaum Nasrani-lah yang dimaksud ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa ayat itu memaksudkan seluruh umat-umat manusia sebelum umat Muhammad SAW.
Dalam kitab Perjanjian, salah satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif adanya syariat-syariat puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci disebutkan apa yang dimaksud dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan pada bulan apa. “Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami”. Penulis belum menemukan keterangan-keterangan lain di kitab Perjanjian yang menerangkan lebih jauh tentang puasa tersebut.
Dalam konteks sejarah yang lain, syariat puasa nampaknya benar-benar menjadi syariat setiap umat. Sayyidah ‘Aisyah RA menceritakan –seperti yang diriwayatkan oleh Hisyâm bin ‘Urwah—bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan ‘Âsyûrâ, walaupun sehari saja. Namun sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW, puasa dilaksanakan pada bulan Ramadlân. Puasa di bulan ‘Âsyûrâ masih disyariatkan tetapi berada dalam status sunnah.
Masih ada riwayat lain yang menerangkan tentang syariat puasa pada umat dahulu. Al-Dlahâk, dalam riwayat Ibnu Abî Hâtim, mengatakan bahwa puasa pertama kali disyariatkan di zaman Nabi Nuh AS, dan masih tetap berlangsung hingga zaman nabi Muhammad SAW. Syihâbuddîn Al-Âlûsî [w. 1270 H.], penulis Tafsîr Rûh-l-Ma’ânî, dengan berdasar hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullâh bin ‘Umar itu, lebih percaya bahwa puasa Ramadlân disyariatkan sejak Nabi Adam AS. Al-Zamakhsarî [467-538 H.] melalui telaahnya atas asal usul bulan Ramadlân juga menegaskan bahwa puasa adalah amal ibadah yang sudah lama [‘Ibâdah Qadîmah ].
Dengan melihat hadits yang diriwayatkan Abdullâh bin ‘Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syariat yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa hal lain –yang semuanya telah penulis singgung di atas, nampak jelas bahwa “puasa pada bulan Ramadlân” telah disyariatkan kembali kepada manusia –tidak hanya kepada umat Muhammad SAW– setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu. Ini lebih bisa diterima karena kemunculan Nabi Muhammad SAW adalah meluruskan dan memperkuat kembali syariat-syariat dari Tuhan yang –sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an– telah di-tahrif atau diselewengkan oleh umat-umat terdahulu. Nah, pelurusan dan penguatan syariat pada era Islam ini melahirkan dugaan dari para sarjana Barat, bahwa syariat agama Islam tidaklah murni melainkan mengadopsi dari agama-agama sebelumnya.
Mengenai kata Ramadlân, sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi SAW di atas –riwayat Abdullâh bin ‘Umar RA– dan juga surat Al-Baqarah ayat 185, penulis merasa istilah itu mengikuti budaya Arab yang sudah mengenal tradisi ber-Ramadlân. Yang penulis maksudkan adalah, ketika Al-Qur’an atau Nabi SAW menyebut kata Ramadlân, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur bahasa Arab, kata ini sudah menjadi Ism ghoiri munsharif. Artinya, makna dan maksud kata itu sudah cukup terkenal dan tidak perlu lagi mengikuti kaidah-kaidah gramatikal bahasa Arab.
Dengan demikian, kita bisa memastikan pula bahwa bulan Ramadlân itu ada, setidaknya, sejak syariat puasa diturunkan kepada umat manusia. Karena, makna Ramadlân itu sendiri adalah waktu atau keadaan atau hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa. Sehingga, dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu Ramadlân, yaitu saat yang panas, kering dan haus.
Telah kita ketahui bahwa syariat puasa memang sudah menjadi syariat bagi setiap umat manusia. Dan di antara sekian macam syariat, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif. Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, Allah SWT telah berfirman, “Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku, dan Aku mengganjar karenanya”. Sehingga, dengan pernyataan Allah SWT itu, Imâm al-Qurthubî [627-671 H.] dalam tafsirnya mengatakan bahwa ‘puasa merupakan [komunikasi] rahasia antara hamba dengan Tuhannya’. Itulah, dan sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya Ibrahim AS, Taurat untuk Musa AS, Injîl untuk Isa AS serta Al-Qur’an pun turun pertama kali pada bulan Ramadlân, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi.

Romadhan berasal dari bahasa Arab (ر م ض ن
) yang berarti sangat panas atau kering kerontang. Memang, bulan ramadhan itu sebelumnya hanya dikenal oleh orang-orang Arab, sehingga lebih populer di tanah Arab. Memang, bangsa Arab dikenal panas dan kering, sejak dulu hingga sekarang. Hanya saja, saat ini sudah mulai ada rebboisasi, sehingga mulai terlihat ijo royo-royo disepanjang jalan. Hampir dipastikan negeri Arab yang dikenal panas, gersang, dan tandus mulai berubah seiring dengan majunya tehnologi modern.
Asal kalimat Romadhan adalah (رم ض ), kemudian ditambah hurf Alif dan Nun (الألف والنون ) yang berarti (sangat) panas. Di dalam kaidah bahasa Arab, jika sebuah kalimat di akhiri dengan ‘(الألف والنون ) bisa berarti sangat. Seperti, الرحمن berarti sangat penyayang, غضبان yang berarti (sangat marah), جوعان yang berarti (sangat lapar), dan عطشان yang berarti (sangat haus). Di dalam percakapan, jika orang Arab merasa sangat lapar, ia hanya mengucapkan’’ جوعان ‘’.
Bangsa Arab pada waktu itu mengikuti penghitungan hari Babylonia (Irak sekarang). Bangsa Babylonia yang budayanya pernah sangat dominan di utara Jazirah Arab menggunakan luni-solar calendar (penghitungan tahun berdasarkan bulan dan matahari sekaligus). Bulan ke Sembilan (ramadhan) selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat. Sejak pagi hingga petang, batu-batu gunung dan pasir gurun terpanggang oleh segatan matahari musim panas yang waktu siangnya lebih panjang dari pada waktu malamnya. Di malam hari panas di bebatuan dan pasir sedikir reda, tapi sebelum dingin betul sudah berjumpa dengan pagi hari. Demikian terjadi berulang-ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi akumulasi panas yang menghanguskan. Hari-hari itu disebut bulan Ramadhan, bulan dengan panas yang menghanguskan.
Saat ini masih bisa dirasakan, ketika bulan puasa masuk musim panas, terasa sekali panjanngya waktu berbuasa. Disebagian daerah ada yang melaksanakan puasa hingga 16 jam. Sungguh, ini sangat melelahkan bagi mereka yang sedang berpuasa. Bahkan, diberbagai daerah panas, siang terasa lebih panjang dari pada malamnya. Berbeda dengan kondisi daerah Asia tenggara, seperti Indonesia, Brunai, Malaysia, dan Pilipina.
Masih terkait dengan epistimologi Ramdhan, setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis matahari, bulan Ramadhan tak lagi selalu bertepatan dengan musim panas. Orang lebih memahami ‘panas’nya Ramadhan secara metaphoric (kiasan). Karena di hari-hari Ramadhan orang berpuasa, tenggorokan terasa panas karena kehausan. Atau, diharapkan dengan ibadah-ibadah Ramadhan maka dosa-dosa terdahulu menjadi hangus terbakar dan seusai Ramadhan orang yang berpuasa tak lagi berdosa.
Yang membedakan bulan Romadhan dengan bulan lainnya yaitu kewajiban melakukan berpuasa. Dimana kewajiban puasa ini sudah menjadi tradisi orang-orang terdahulu (para nabi dan utusan). Sedangkan tujuan ahir (al-Ghoyah) Allah SWT memerintahkan puasa ialah agar meraih derajat paling tinggi (taqwa) (Q.S al-Baqarah (2:183). Karakteristik orang-orang bertaqwa ialah melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya tanpa mengeluh, dan berusaha sekuat tenaga menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan puasa adalah salah satu proses menuju makom ke-taqwaan. Adakalanya yang sukses, dan adakalanya yang masih tahap pertama.
Memang tidak dipungkiri, hampir setiap bulan Nabi Saw tidak pernah meninggalkan puasa sunnah, akan tetapi tidak ada puasa yang dilakukan sebulan penuh, kecuali puasa bulan Romadhan. Nabi Saw benar-benar menjalan puasa dengan sebaik-baiknya, entah wajiab (ramadhan) atau sunnah. Beliau-lah yang paling taqwa, karena beliau benar-benar melalui proses dan tahap yang berliku, sehinga mencapai derajat orang yang sempurna ketaqwaanya kepada-Nya.
Puasa Romadhan ditetapkan pada tahun kedua hijriyah, dan hukumnya wajib bagi setiap orang muslim, baligh, berakal, serta mampu (kuat) untuk melakukan puasa. Sedangkan pahala ibadah puasa, secara khusus Allah sendiri yang akan membalasnya. Sebagimana keterangan hadis Nabi yang berbunyi’’ semua amal ibadah anak Adam untuknya, kecuali puasa hanya untukku, dan aku sendiri yang akan membalasnya’’.
Puasa merupakan ibadah yang bertujuan mengekang nafsu manusia dari segala keseneangan dan kelezatan duniawi. Orang baru dikatakan ber-pusa, jika telah mampu mengekang segala nafsu (kesenangan-kesenangan) dirinya. Seperti mengekang panca indera dari ke-senangan dan kenikmatan duniwi). Dan semua semua itu dilakukan, karena semata-mata taat dan tunduk kepada-Nya, serta mengikuti apa yang di-anjurkan oleh Nabi Saw. Siang hari menahan diri dari perbuatan maksiat, dan memasuki malam hari menghidupkannya dengan qiyam (sholat malam), membaca al-Qur’an, serta merenungi kebesaran-Nya. Jika manusia yang menyatakan dirinya beriman kepada-Nya, melaksanakan puasa bulan suci ramadhan. Akan tetapi masih menodahi lisan dengan berbicara kotor, ngarasi, gossip, menfitnah, ghibah, namimah, angkuh, sombong. Kemudian prilaku (tindakan) masih sering menyakitkan tetangga, kerabat, serta mitra kerjanya. Maka, orang ini termasuk merugi.
Ternyata, tidak sedikit politisi yang mengumbar pernyataan yang tidak seharusnya dikeluarkan. Tidak sedikit juga para pedagang yang suka ngutil (ngentit) dalam istilah agama disebut dengan ‘’riba’’. Padahal, menurut Nabi sekecil-kecilnya dosa riba ialah bagaikan seorang anak lelaki menikahi ibunya sendiri. Stasion telivisi juga tidak sungkan-sngkan menodahi bulan sacral ini dengan tayangan gossip nasioanal, sementara tayangan itu disuguhkan pada pemirsa yang sedang menunaikan ibadah puasa. Suatu keitika Nabi naik mimbar di masjid Nabawi, ketika kaki kanan beliau menaiki tangga pertama, beliau mengucap ‘’amin’’. Setelah turun dari mimbar, Nabi ditanya oleh para sahabat. Wahai Nabi, kenapa engaku mengucapkan ‘’amiin’’, padahal tidak ada satupun orang yang berdo’a.
Siapakah gerangan, yang berdo’a ketika engkau sedang menaiki tangga pertama? Nabi menjawab;’’ ketika aku menaiki tangga pertama, tiba-tiba jibril datang seraya berdo’a yang artinya:’’ celaka sekali mereka yang mendapatkan bulan suci ramadhan, akan tetapi ia tidak mendapatkan pengampunan’’ (H.R al-Hakim). Inilah yang perlu direnugi, memasuki bulan suci ramadhan, ternyata masih banyak orang-orang yang mengaku islam, akan tetapi mereka masih suka menodai agamanya sendiri, bahkan menodai kesucian bulan sacral ramadhan.

Adalah kekeliruan dan kesalahan jika terdapat persepsi bahwa bulan Ramadhan adalah bulan kelemahan dan istirahat, disebabkan adanya puasa di dalamnya. Kenyataan sebenarnya justru sebaliknya, Ramadhan adalah bulan jihad, penuh kekuatan dan semangat. Berikut ini akan kami bawakan sejumlah peristiwa penting, peperangan dan kemenangan kaum muslimin yang terjadi di bulan Ramadhan. Semoga ada manfaatnya.
Pertama: Diturunkannya al-Qur’ān pada malam Lailatul Qadr di bulan Ramadhan, yakni turunnya al-Qur’ān secara sekaligus dari al-Lauhu’l Mahfūzh ke langit dunia, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibn ‘Abbās.
Kedua: Perang Badr al-Kubrā, pada hari Jum’at, tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 H (623 M). Kaum muslimin berjumlah 300 lebih menghadapi sekitar 1000 orang musyrikin. Peperangan dimenangkan oleh kaum muslimin. Terbunuh pada pertempuran ini sejumlah pembesar kafir Quraisy, di antaranya Abū Jahl, Syaibah Ibn Rabī`ah dan Walīd Ibn ‘Utbah, dan lain-lain. Jumlah kafir Quraisy yang terbunuh sebanyak 70 orang dan 70 orang lainnya tertawan. Sementara dari pihak muslimin gugur 14 orang. Peristiwa Badr memiliki dampak positif yang sangat kuat sekaligus asas bagi masa depan Islam. Karena itulah, al-Qur’ān menamakan peristiwa tersebut sebagai yaum al-furqān (hari pembedaan, QS. Al-Anfāl [8]: 41), karena peristiwa itu membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Hari dimana kaum mukminin sangat ditinggikan dan orang-orang kafir menjadi sangat direndahkan.
Ketiga: Penaklukan kota Makkah, pada hari Jum’at, tanggal 20 atau 21 Ramadhan tahun 8 H (629 M). Pada peristiwa tersebut RasuluLlāh menghancurkan berhala-berhala di sekitar Ka’bah yang berjumlah 360 buah. Setelah itu RasuluLlāh berkata, “Hai orang-orang Quraisy, apa kiranya yang akan saya lakukan terhadap kalian di hari ini?” Mereka menjawab, “Sesuatu yang baik. Sebab engkau adalah saudara yang baik dan akan memperlakukan saudara dengan baik pula.” Nabi ` berkata, “Pergilah, kalian bebas.” Ini merupakan amnesti terbesar dan kasih sayang yang sangat agung. Jatuhnya Makkah membuka jalan untuk penaklukan seluruh jazirah Arab.
Keempat: Penaklukan Andalusia, pada 27 Ramadhan 92 H atau 19 Juli 711 M. Thariq Ibn Ziyād memimpin kaum muslimin menuju Andalusia melalui jalur laut. Konon, Thāriq membakar kapal-kapal yang membawa pasukan kaum muslimin ke Andalusia, lalu membawakan pidatonya yang masyhur, “Wahai manusia, ke mana kalian akan lari?! Laut di belakang kalian, sementara musuh di depan kalian. Tidak ada pilihan lain bagi kalian selain jujur kepada diri sendiri dan sabar.”
Kelima: Perang az-Zallāqah, pada hari Jum’at, 25 Ramadhan 479 H (1086 M). Pada saat itu pasukan muslimin Murābithūn di bawah pimpinan Yusuf Ibn Tāsyifīn mendapat kemenangan atas pasukan Kristen di bawah pimpinan Franco IV. Setelah itu, jadilah seluruh Andalusia berada di bawah pemerintahan Murābithūn.
Keenam: Perang ‘Ain Jalūt (dekat Nablus di Palestina), pada hari Jum’at, 15 Ramadhan 658 H atau 3 September 1260 M. Pada peristiwa tersebut, kaum muslimin di bawah pimpinan Quthuz, mengalahkan Mongolia. Perang ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam dan merupakan kemenangan pertama yang berhasil dicapai oleh kaum muslimin terhadap orang-orang Mongol. Setelah sebelumnya Mongol sempat meluluhlantakkan Baghdād dan membantai sekitar sejuta orang muslim pada Muharram 656 H (1258 M). Ini menghancurkan mitos bahwa Mongol tidak terkalahkan. Setelah peristiwa tersebut, kemenangan demi kemenangan diraih oleh kaum muslimin atas Mongolia.
Ketujuh: proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadhān 1364 H.

HIKMAH PUASA
(Beberapa Atribut dan Hikmah Bulan Suci Ramadhan)


Marhaban ya Ramadhan
Ramadhan adalah bulan disyari'atkannya puasa, yang merupakan salah satu dari rukun Islam, sebagaimana firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atasa orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa" [al-Baqarah:183]

Puasa telah dilaksanakan sejak lama sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu puasa. Dalam sejarah agama-agama besar, puasa sudah tidak asing lagi.

Universalitas puasa bisa dimengerti karena esensi dari puasa itu sendiri bukannya "mengerjakan" melainkan "menahan diri", yakni menahan diri dari makan dan minum, tidak melakukan seksualitas di siang hari serta menghindari sikap hewani yang merusak. Dianjurkan pula ibadah pada malam harinya untuk beribadah (qiyamullail). Karena sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia, sumber segala rahmat dan kebaikan. Allah memberi keberkahan dan maghfirah. Para Malaikat turun untuk ikut memanjatkan do'a dan pujian agar manusia memperoleh ampunan. Semua pintu kebaikan dibuka lebar-lebar serta semua setan "dibelenggu." Rasulullah mengkhususkan bulan ini sebagai bulan untuk beribadah melampaui bulan-bulan lainnya. Demikian juga para sahabat, mereka saling bergegas dalam amal-amal kebaikan semata-mata mengharap ridha Allah SWT.


Hikmah Ramadhan

Selain posisi istimewa di sisi Allah SWT yang diperoleh oleh seorang mukmin yang berpuasa, hikmah dari puasa juga teramat besar. Baik hikmah rohani maupun jasmani, baik terhadap diri pribadi maupun kepada masyarakat luas.

Ramadhan juga sebagai syahrul ibadah (bulan ibadah) dimana terdapat nilai ibadah yang tinggi serta semangat beribadah yang tinggi. Selain itu juga sebagai "Syahrul Fath" (bulan kemenangan). Umat Islam memperoleh kemenangan dalam "perang kecil", perang Badar. Bisa dikatakan juga sebagai "Syahrul Huda" (bulan petunjuk) karena pada bulan Ramadhanlah turunnya petunjuk kehidupan yaitu al-Quran pada pertama kalinya. Selain itu bulan Ramadhan juga disebut sebagai "Syahrul Ghufran" (bulan penuh ampunan). Pada bulan ini, dimudahkan pintu pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Sebagai "Syahrus Salam" (bulan keselamatan), bulan Ramadhan adalah bulan yang mengandung nilai-nilai edukatif yang dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian bagi umat manusia. Dan yang terakhir adalah sebagai "Syahrul Jihad" (bulan perjuangan). Pada bulan ini, manusia dihadapkan pada perjuangan yang amat besar. Mereka menahan diri dari perbuatan yang biasa diperbuat, selain menahan diri dari "ritualitas" makan dan minum sebagai kebutuhan primer sejak fajar sampai terbenamnya matahari. Dan kalau sudah berbuka, dianjurkan untuk menahan diri dari makan dan minum yang berlebihan bahkan dianjurkan untuk membatasinya. Upaya ini merupakan cara untuk memelihara kesehatan jasmani. Bukankah masalah perut (makan dan minum) juga pemicu timbulnya penyakit jiwa? Begitulah kira-kira apa yang dikatakan para sufi.

Kalau penyakit "rakus dan tamak" menimpa seseorang, akibat dan bahayanya bukan hanya terbatas pada lingkungan kecil tetapi lambat laun akan merambat dalam kehidupan berbangsa sehingga akan menimbulkan semangat kapitalisme yang kemudian bersifat ekspansif, yaitu mengeksploitasi milik orang lain akibat sifat serakahnya tersebut. Sehingga benar apa yang disinyalir Imam Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin-nya bahwa bencana paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut.

Kalau kita melaksanakan puasa, kita akan mengadaptasi diri kita dengan mereka yang berekonomi lemah yang sering merasakan haus dan lapar, sehingga akan timbul rasa kasih sayang dan ketajaman rasa sosial yang akan menjadi pengalaman rohani tersendiri. Mungkinkah kasih sayang tidak tumbuh ketika pemandangan itu terjadi di depan mata kita?

Dalam batas yang paling rendah; setidak-tidaknya kehausan dan kelaparan yang diakibatkan puasa tersebut akan mengingatkan kita pada kaum fakir miskin sehingga termanifestasi dengan sedekah yang banyak sebagai tindakan konkrit dari rasa solidaritas sosial yang nantinya akan menjembatani antara the have dan the have not yang pada titik akhirnya akan tercipta sumber daya manusia yang mempunyai etika dan kepekaan sosial yang tinggi.

Masih banyak hikmah-hikmah lain yang bisa kita petik intisarinya dari pelaksanaan puasa. Semoga bukan hanya sekedar idealisme belaka, melainkan sebuah realitas sepanjang masa setelah menjalani Ramadhan.

Semoga saja kita dapat menjadikan Ramadhan sebagai wadah penggemblengan mental sehingga tercipta kontrol diri yang baik yang akan meluas dampaknya ke masyarakat sehingga puasa bukan hanya memperoleh lapar dan haus saja, agar kita tidak tergolong orang-orang yang disinyalir Nabi SAW:

"Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus."

Tapi kita berharap dengan puasa disamping hikmah yang dikandungya, yang paling penting adalah semua semata-mata pengabdian kita kepada Allah SWT.

Semoga ibadah kita diterima Allah SWT. Amien.
Alhamdulillah.
Ramadhan termasuk bulan arab yang dua belas.  Ia adalah bulan nan agung dalam agama Islam. Dia berbeda dengan bulan-bulan lainnya karena sejumlah keistimewaan dan keutamaan yang ada padanya. Di antaranya yaitu:
1.  Allah Azza wa Jalla menjadikan puasa (di Bulan Ramadhan) merupakan rukun keempat di antara Rukun Islam.
Sebagaimana firman-Nya:
( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه) سورة البقرة: 185
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (SQ. Al-Baqarah: 185)
Terdapat riwayat shahih dalam dua kitab shahih; Bukhari, no. 8, dan Muslim, no. 16 dari hadits Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله , وأن محمدا عبد الله ورسوله , وإقام الصلاة , وإيتاء الزكاة ، وصوم رمضان , وحج البيت.
“Islam dibangun atas lima (rukun); Bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan dan haji ke Baitullah.”
2. Allah menurunkan Al-Qur’an (di dalam Bulan Ramadan).
Sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat sebelumnya,
( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ )
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. (QS. Al-Baqarah: 185)
Allah Ta’ala juga berfirman:
( إنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) سورة القدر: 1
"Sesungguhnya Kami turunkan (Al-Qur’an) pada malam Lailatur Qadar.”
3.  Allah menetapkan Lailatul Qadar pada bulan tersebut, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firman Allah:
( إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ . وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ . سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ) سورة القدر: 1-5
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan, Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar."  (QS. Al-Qadar : 1-5).
Dan firman-Nya yang lain:
( إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ) سورة الدخان: 3
"sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.”  (QS. Ad-Dukhan: 3).
Allah telah mengistimewakan bulan Ramadhan dengan adanya Lailaul Qadar. Untuk menjelaskan keutamaan malam yang barokah ini, Allah turunkan surat Al-Qadar, dan juga banyak hadits yang menjelaskannya, di antaranya Hadits Abu Hurairah radhialahu ’anhu, dia berkata:  Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ , تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ , وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ , وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ , لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ, مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ " رواه النسائي ( 2106 ) وأحمد (8769) صححه الألباني في صحيح الترغيب ( 999 ) .
“Bulan Ramadhan telah tiba menemui kalian, bulan (penuh) barokah, Allah wajibkan kepada kalian berpuasa. Pada bulan itu pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu (neraka) jahim ditutup, setan-setan durhaka dibelenggu. Padanya Allah memiliki malam yang lebih baik dari seribu bulan, siapa yang terhalang mendapatkan kebaikannya, maka sungguh dia terhalang (mendapatkan kebaikan yang banyak)." (HR. Nasa’I, no. 2106, Ahmad, no. 8769. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih At-Targhib, no. 999)
Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, dia berkata, Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ . (رواه البخاري، رقم 1910، ومسلم، رقم 760 )
“Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan (penuh) keimanan dan pengharapan (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Bukhari, no. 1910, Muslim, no. 760).
4.  Allah menjadikan puasa dan shalat yang dilakukan dengan keimanan dan mengharapkan (pahala) sebagai sebab diampuninya dosa.
Sebagaimana telah terdapta riwayat shahih dalam dua kitab shahih;  Shahih Bukhori, no. 2014, dan shahih Muslim, no. 760, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa yang berpuasa (di Bulan) Ramadhan (dalam kondisi) keimanan dan mengharapkan (pahala), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”.
Juga dalam riwayat Bukhari, no. 2008, dan Muslim, no. 174, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ومن قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
”Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”.
Umat islam telah sepakat (ijma) akan sunnahnya menunaikan qiyam waktu malam-malam Ramadhan. Imam Nawawi telah menyebutkan bahwa maksud dari qiyam di bulan Ramadhan adalah shalat Taraweh, Artinya dia mendapat nilai qiyam dengan menunaikan shalat Taraweh.
5.  Allah (di bulan Ramadhan) membuka pintu-pintu surga, menutup pintu-pintu neraka dan membelenggu setan-setan.
Sebagaimana dalam dua kitab shahih, Bukhari, no. 1898, Muslim, no. 1079, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, dia berkata: Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة , وغلقت أبواب النار , وصُفِّدت الشياطين
“Ketika datang (bulan) Ramadan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu”.
6. Pada setiap malam (bulan Ramadan) ada yang Allah bebaskan dari (siksa) neraka.
Diriwayatkan Ahmad (5/256) dari hadits Abu Umamah, sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
لله عند كل فطر عتقاء. (قال المنذري: إسناده لا بأس به، وصححه الألباني في صحيح الترغيب، رقم 987)
"Pada setiap (waktu) berbuka, Allah ada orang-orang yang dibebaskan (dari siksa neraka)” (Al-Munziri berkata: ”Sanadnya tidak mengapa”, dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih At-Targhib, no. 987)
Diriwayatkan dari Bazzar (Kasyf, no. 962), dari hadits Abu Said, dia berkata: Rasulullah sallallahu’alaihi wasallan bersabda:
إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة _ يعني في رمضان _ , وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة "
“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan kebebasan dari siksa neraka pada setiap malam –yakni di bulan Ramadan- dan sesungguhnya setiap muslim pada waktu siang dan malam memiliki doa yang terkabul (mustajabah)”.
7.  Puasa pada bulan Ramadan (merupakan) sebab terhapusnya dosa-dosa yang lampau sebelum Ramadan jika menjauhi dosa-dosa besar.
Sebagaimana terdapat riwayat dalam shahih Muslim, no. 233, sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wasallam bersabda:
الصلوات الخمس , والجمعة إلى الجمعة , ورمضان إلى رمضان , مكفرات ما بينهن إذا اجتنبت الكبائر
“Dari shalat (ke shalat) yang lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at, dari Ramadan ke Ramadhan, semua itu dapat menghapuskan (dosa-dosa) di antara waktu tersebut, jika menjauhi dosa-dosa besar.”
8.  Puasa (di bulan Ramadan) senilai puasa sepuluh bulan.
Yang menunjukkan hal itu, adalah riwayat dalam shahih Muslim, no. 1164, dari hadits Abu Ayub Al-Anshary, dia berkata:
من صام رمضان , ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa (pada bulan Ramadhan) kemudian diikuti (puasa) enam (hari) pada bulan Syawwal, maka hal itu seperti puasa setahun”.
Juga diriwayatkan oleh Ahmad, no. 21906, sesunggunya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
من صام رمضان فشهر بعشرة أشهر ، وصيام ستة أيام بعد الفطر فذلك تمام السنة
“Siapa yang berpuasa (pada bulan) Ramadan, maka satu bulan sama seperti sepuluh bulan. Dan (siapa yang berpuasa setelah itu) berpuasa selama enam hari sesudah Id (Syawal), hal itu (sama nilainya dengan puasa) sempurna satu tahun”.
9.  Orang yang menunaikan qiyamul lail (Taraweh) bersama imam hingga selesai, dicatat baginya seperti qiyamul lail semalam (penuh).  
Sebagaimana terdapat riwayat dari Abu Daud, no. 1370 dan lainnya dari hadits Abu Dzar radhiallahu ’anhu, dia berkata: Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Bahwasiapa menunaikan qiyamul lail bersama imam hingga selesai, dicatat baginya (pahala) qiyamul lail semalam (penuh)”. (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab 'Shalat Taraweh', hal. 15)
10.  Melaksanakan umrah pada bulan Ramadan, (pahalanya) seperti haji.
Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 1782, dan Muslim, no. 1256, dari Ibnu Abbas radhiallahu ’anhuma, dia berkata: Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda kepada wanita dari Anshar: ”Apa yang menghalangi anda melaksanakan haji bersama kami?” Dia berkata: ”Kami hanya mempunyai dua ekor onta untuk menyiram tanaman. Bapak dan anaknya menunaikan haji dengan membawa satu ekor onta dan kami ditinggalkan satu ekor onta untuk menyiram tanaman." Beliau bersabda: “Jika datang bulan Ramadan tunaikanlah umrah, karena umrah (di bulan Ramadhan) seperti haji”.  Dalam riwayat Muslim: “(seperti) haji bersamaku”.
11.  Disunnahkan i’tikaf, karena Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam senantiasa melaksanakannya, sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiallahu ’anha, sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam biasanya beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah ta’ala mewafatkannya, kemudian istri-istrinya beri’tikaf (sepeninggal) beliau”. (HR. Bukhari, no. 1922, Muslim, no. 1172).
12.  Sangat dianjurkan sekali pada bulan Ramadan tadarus Al-Qur’an dan memperbanyak tilawah.
Cara tadarus Al-Qur’an adalah dengan membaca (Al-Qur’an) kepada orang lain dan orang lain membacakan (Al-Qur’an) kepadanya. Dalil dianjurkannya (adalah): “Sesungguhnya Jibril bertemu Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam setiap malam di bulan Ramadhan dan membacakan (Al-Qur’an) kepadanya”. (HR. Bukhari, no. 6, dan Muslim, no. 2308). Membaca Al-Qur’an dianjurkan secara mutlak, akan tetapi pada bulan Ramadan sangat ditekankan.
13.  Dianjurkan di bulan Ramadhan memberikan buka kepada orang yang berpuasa, berdasarkan hadits Zaid Al-Juhany radiallahu ’anhu berkata, Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa memberi buka (kepada) orang yang berpuasa, maka dia (akan mendapatkan) pahala seperti orang itu, tanpa mengurangi pahala orang berpuasa sedikit pun juga”.  (HR.Tirmizi, no. 807, Ibnu Majah, no. 1746, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam shahih Tirmizi, no. 647).

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.