Hikmah Ramadhan Melacak Sejarah Ramadlân & Syariat Puasa
Salah satu hadits
Nabi Muhammad SAW yang paling terkenal tentang rukun Islam adalah yang
berbunyi : Islam didirikan atas 5 [perkara], [1] Bersyahadat bahwa tidak ada
tuhan selain Allah SWT dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya, [2]
Mendirikan shalat, [3] Menunaikan zakat, [4] Berpuasa di bulan Ramadlân, dan
[5] Melaksanakan haji bagi yang mampu. Hadits tersebut sangat populer di
kalangan muslim karena menjadi tiang atau dasar bagi sendi-sendi syariat Islam.
Selain karena menjadi tiang, alasan kepopuleran lainnya adalah karena Nabi Muhammad
SAW menjelaskan rukun-rukun itu ketika malaikat Jibrîl yang menjelma menjadi
seorang pemuda menanyakannya.
Kata Ramadlân berasal
dari akar kata dasar r-m-dl, atau ra-mi-dla yang berarti “panas”
atau “panas yang menyengat”. Kata itu berkembang –sebagaimana biasa terjadi
dalam struktur bahasa Arab– dan bisa diartikan “menjadi panas, atau sangat
panas”, atau dimaknai “hampir membakar”. Jika orang Arab mengatakan Qad
Ramidla Yaumunâ, maka itu berarti “hari telah menjadi sangat panas”. Ar-Ramadlu
juga bisa diartikan “panas yang diakibatkan sinar matahari”. Ada pendapat
yang menyatakan bahwa Ramadlân adalah salah satu nama Allah SWT. Tetapi,
penulis merasa pendapat ini lemah karena tidak memiliki argumentasi literal.
Demikianlah istilah
bulan Ramadlân diambil dari kalimat ramidla-yarmadlu, yang
berarti “panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus”.
Keterangan-keterangan tentang lafadz Ramadlân ini disampaikan oleh Muhammad
bin Abû Bakar bin Abdul Qâdir Al-Râzî [w. 721 H.] dalam kamus Mukhtâru-sh-Shihhâh
dan Muhammad bin Mukarram bin Mandzûr Al-Mashrî [630-711 H.], yang
terkenal dengan sebutan Ibnu Mandzûr, dalam karya monumentalnya, Lisânu-l-‘Arab.
Sedangkan puasa dalam
bahasa Arab disebut Shiyâm atau Shaûm –keduanya sama-sama kata
dasar dari kata kerja Sha-wa-ma–, yang secara etimologis berarti menahan
dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain [Al-Syaukânî, 1173-1255 H.,
Fathu-l-Qadîr]. Shiyâm atau Shaûm merupakan qiyâm
bilâ ‘amal, yang berarti ‘beribadah tanpa bekerja’. Dikatakan ‘tanpa
bekerja’ karena puasa itu sendiri bebas dari gerakan-gerakan [harakât],
baik gerakan itu berupa: berdiri, berjalan, makan, minum dan sebagainya.
Sehingga, Ibnu Durayd –sebagaimana dinukil dalam Al-Âlûsî– mengatakan bahwa
segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak, berarti sesuatu itu Shiyâm,
sedang ber-puasa. Selain itu, puasa, sebagaimana penulis sebutkan di atas,
berarti ‘menahan’ dari sesuatu pekerjaan. Dan ‘sesuatu’ itu telah ditentukan
oleh syariat. Dengan begitu, dalam syariat, puasa memiliki pengertian
tersendiri.
Makna puasa yang
“menahan” ini juga terlihat jelas tatkala kita menelusuri sejarah bahasa shiyâm
atau Shaûm.
Ibnu Mandzûr, pakar
sejarah bahasa Arab yang hampir tiada duanya, dalam hasil pelacakannya atas
asal-muasal kata, mendefinisikan Shaûm sebagai “hal meninggalkan makan,
minum, menikah dan berbicara”. Definisi ini adalah definisi paling asli dan
sahih dalam sejarah bahasa Arab. Ini cocok dengan keterangan Al-Qur’an,
misalnya, pada kisah Sayyidah Maryam saat menjawab cemoohan-cemoohan orang-orang
kepadanya, "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari
ini" [QS. 19:26]. ‘Puasa’ yang dimaksud Sayyidah Maryam di situ adalah
“menahan untuk tidak bicara”.
Di sini, sifat
‘menahan’ menjadi titik atau letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah
yang lainnya. Apapun amal ibadah seseorang, pasti akan dapat diketahui dari
sisi dhâhir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi,
untuk puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan
gerakan-gerakan dzahîr atau fisik. Pantaslah jika Nabi Muhammad
SAW bersabda bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya’
--memperlihatkan kebaikan tertentu-- adalah puasa.
Melihat keterangan-keterangan
Ibnu Mandzûr dan Al-Râzî tersebut di atas, baik tentang makna Ramadlân maupun
puasa, ada indikasi bahwa seolah-olah turunnya syariat puasa, setidaknya,
bersamaan waktunya dengan kelahiran bulan Ramadlân. Hal tersebut bisa
dibenarkan, tentunya, dikarenakan kedua kata itu memiliki relasi makna yang
dekat dan saling bersentuhan, yaitu sama-sama ‘panas’ atau ‘kering’ yang
disebabkan ‘berpuasa’.
Muncul pertanyaan,
sejak kapan pastinya bulan Ramadlân itu ada dan sejak kapan pastinya puasa
Ramadlân disyariatkan, sehingga beliau berdua mengaitkan syariat ini dengan
maknanya sebagai “panas, kering atau haus”? Dan sejak kapan puasa diberlakukan
kepada umat manusia? Bagaimana dengan puasa-puasa terdahulu yang dilakukan
tidak di bulan Ramadlân? Pertanyaan-pertanyaan ini akan penulis bahas dengan
menelaah kembali ayat Al-Qur’an yang menyangkut syariat untuk melakukan puasa.
Ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa adalah surat
Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi,”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa…”. Ayat tersebut turun tanpa sebab-sebab tertentu,
sebagaimana terjadi pada kebanyakan ayat-ayat ahkâm –ayat yang berkenaan
dengan hukum–, yang turun setelah ada peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi
pada Nabi SAW atau para sahabat.
Pada ayat yang turun
ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah [Madanî] ini telah disebutkan sebuah
informasi yang menyatakan “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu”.
Ada dua [2] persoalan
pokok pada ayat tersebut yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para
ulama, khususnya para mufassir. Perbedaan pertama menyangkut kalimat “sebagaimana
diwajibkan”. Ini menjadi persoalan karena munculnya pertanyaan; apakah
kesamaan berpuasa yang diwajibkan atas kaum “sebelum kamu” adalah puasa
di bulan Ramadlân, atau kesamaan itu hanya meliputi hal syariat berpuasa saja,
sedangkan waktunya berada di bulan lain [?].
Pada persoalan ini,
perbedaan timbul di antara dua pendapat. Yang pertama, dimotori Sa’îd bin Jabîr
RA [w. 95 H.], yang cenderung memaknai hukum tasybîh [penyerupaan atau
penyamaan] itu hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa
lama dan pada bulan apa berpuasa. Pendapat ini berdasar pada realitas sejarah
dimana masyarakat Jahiliyah masih mengenali syariat tersebut, walaupun telah
menjadi ‘sejarah’ serta tidak dilakukan di bulan Ramadlân yang sudah
dikenal. Bisa jadi pendapat ini menyandarkan kepada salah satu firman Allah SWT
tentang bermacam-macamnya syariat bagi masing-masing umat manusia, “Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu --maksudnya: umat Nabi Muhammad SAW dan
umat-umat yang sebelumnya--, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”
[QS. 5:48].
Pendapat kedua lebih
terfokus pemahamannya kepada lama hari berpuasa dan bulan diwajibkannya
berpuasa. Lebih tepatnya, pendapat kedua ini mengarahkan perhatiannya kepada
ayat selanjutnya, pada ayat 184, yang berbunyi, “[yaitu] dalam beberapa hari
yang tertentu” [ayyâman ma’dûdât]. Dengan demikian, secara
global ulama kelompok ini berpendapat bahwa puasa Ramadlan sebagaimana
kaum muslimin lakukan selama ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang
terdahulu.
Dasar pendapat ini
tentu banyaknya riwayat yang menjelaskan tentang hal itu. Antara lain sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Abdullâh bin ‘Umar RA [w. 73 H.], sebagaimana
yang dinukil oleh Ibnu Katsîr [701-774 H.] dalam tafsirnya, bahwa Nabi SAW
bersabda “Puasa bulan Ramadlân telah diwajibkan oleh Allah SWT atas umat
sebelum kamu”.
Pada pendapat yang
kedua ini masih terjadi ikhtilâf [perbedaan], apakah selama “beberapa
hari yang tertentu” [ayyâman ma’dûdât] berpuasa --yang diwajibkan
pada kaum dahulu itu-- adalah berupa sebulan penuh dalam Ramadlân atau
bulan-bulan lainnya [?].
Ada dua [2] pendapat,
pertama menyatakan bahwa puasa yang disyariatkan pada umat terdahulu adalah
berupa puasa selama tiga [3] hari pada setiap bulan. Abdullâh bin ‘Abbâs RA [w.
69 H.] mengatakan, ”Syariat sebelumnya adalah puasa tiga hari setiap
bulan, lalu syariat ini di-nasakh dengan syariat yang baru, melalui
surat Al-Baqarah ayat 185” [Tafsîr Zâd-l-Mashîr]. Pendapat kedua
mengklaim bahwa “hari-hari tertentu” yang dimaksud adalah bulan Ramadlân
itu sendiri. Jadi, pada bulan Ramadlân jugalah umat-umat dahulu diwajibkan
berpuasa.
Al-Suday menyatakan
bahwa orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syariat puasa di bulan
Ramadlân. Tetapi, karena mereka merasakan berat, mereka kemudian merubahnya
dengan berpuasa di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah
beberapa hari. Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing
sepuluh hari sebelum dan sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga,
mereka berpuasa selama lima puluh hari. Ibnu Jarîr [224-310 H.] secara lebih
berani meyakini seyakin-yakinnya adanya syariat puasa di bulan Ramadlan bagi
Nasrani [Tafsîr al-Thabarî]. Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga
memiliki syariat puasa di bulan Ramadlân, menggantinya dengan puasa sehari
dalam setahun. Hal itu, dalam informasi yang dimiliki Syihâbuddîn Al-Âlûsî [w.
1270 H.], penulis Tafsîr Rûh-l-Ma’ânî, merupakan klaim mereka
bahwa hari itu adalah hari tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya di laut Merah.
Perbedaan kedua
–dalam menelaah ayat syariat puasa itu– adalah tentang siapa yang dimaksud
dengan “orang-orang sebelum kamu”. Pendapat pertama mengatakan yang
dimaksud adalah ”orang-orang ahlul kitâb”, yaitu mereka-mereka yang
masih berpegang kepada kitab agama-agama sebelum Islam [Yahudi dan Nasrani].
Pendapat kedua menyebutkan kaum Nasrani-lah yang dimaksud ayat itu. Sedangkan
pendapat yang ketiga mengatakan bahwa ayat itu memaksudkan seluruh umat-umat
manusia sebelum umat Muhammad SAW.
Dalam kitab
Perjanjian, salah satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif
adanya syariat-syariat puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci
disebutkan apa yang dimaksud dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan
pada bulan apa. “Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan
puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya
jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami”.
Penulis belum menemukan keterangan-keterangan lain di kitab Perjanjian yang
menerangkan lebih jauh tentang puasa tersebut.
Dalam konteks sejarah
yang lain, syariat puasa nampaknya benar-benar menjadi syariat setiap umat.
Sayyidah ‘Aisyah RA menceritakan –seperti yang diriwayatkan oleh Hisyâm bin
‘Urwah—bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan ‘Âsyûrâ,
walaupun sehari saja. Namun sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW, puasa
dilaksanakan pada bulan Ramadlân. Puasa di bulan ‘Âsyûrâ masih disyariatkan
tetapi berada dalam status sunnah.
Masih ada riwayat
lain yang menerangkan tentang syariat puasa pada umat dahulu. Al-Dlahâk, dalam
riwayat Ibnu Abî Hâtim, mengatakan bahwa puasa pertama kali disyariatkan
di zaman Nabi Nuh AS, dan masih tetap berlangsung hingga zaman nabi
Muhammad SAW. Syihâbuddîn Al-Âlûsî [w. 1270 H.], penulis Tafsîr Rûh-l-Ma’ânî,
dengan berdasar hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullâh bin ‘Umar itu,
lebih percaya bahwa puasa Ramadlân disyariatkan sejak Nabi Adam AS.
Al-Zamakhsarî [467-538 H.] melalui telaahnya atas asal usul bulan Ramadlân juga
menegaskan bahwa puasa adalah amal ibadah yang sudah lama [‘Ibâdah Qadîmah ].
Dengan melihat hadits yang diriwayatkan
Abdullâh bin ‘Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya
syariat yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa hal lain –yang
semuanya telah penulis singgung di atas, nampak jelas bahwa “puasa pada bulan Ramadlân”
telah disyariatkan kembali kepada manusia –tidak hanya kepada umat Muhammad
SAW– setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu. Ini lebih bisa
diterima karena kemunculan Nabi Muhammad SAW adalah meluruskan dan
memperkuat kembali syariat-syariat dari Tuhan yang –sebagaimana diceritakan
dalam Al-Qur’an– telah di-tahrif atau diselewengkan oleh
umat-umat terdahulu. Nah, pelurusan dan penguatan syariat pada era Islam ini
melahirkan dugaan dari para sarjana Barat, bahwa syariat agama Islam tidaklah
murni melainkan mengadopsi dari agama-agama sebelumnya.
Mengenai kata Ramadlân, sebagaimana
tersurat dalam hadits Nabi SAW di atas –riwayat Abdullâh bin ‘Umar RA– dan juga
surat Al-Baqarah ayat 185, penulis merasa istilah itu mengikuti budaya Arab
yang sudah mengenal tradisi ber-Ramadlân. Yang penulis maksudkan adalah,
ketika Al-Qur’an atau Nabi SAW menyebut kata Ramadlân, masyarakat sudah
tidak asing lagi dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur bahasa Arab,
kata ini sudah menjadi Ism ghoiri munsharif. Artinya, makna dan maksud
kata itu sudah cukup terkenal dan tidak perlu lagi mengikuti kaidah-kaidah
gramatikal bahasa Arab.
Dengan demikian, kita bisa memastikan pula
bahwa bulan Ramadlân itu ada, setidaknya, sejak syariat puasa diturunkan
kepada umat manusia. Karena, makna Ramadlân itu sendiri adalah waktu
atau keadaan atau hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan
tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa. Sehingga, dengan
sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa
disebut bulan atau waktu Ramadlân, yaitu saat yang panas, kering dan
haus.
Telah kita ketahui
bahwa syariat puasa memang sudah menjadi syariat bagi setiap umat manusia. Dan
di antara sekian macam syariat, hanya ibadah puasa merupakan ibadah
kontemplatif. Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, Allah
SWT telah berfirman, “Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam
diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa adalah
untuk-Ku, dan Aku mengganjar karenanya”. Sehingga, dengan pernyataan Allah
SWT itu, Imâm al-Qurthubî [627-671 H.] dalam tafsirnya mengatakan bahwa ‘puasa
merupakan [komunikasi] rahasia antara hamba dengan Tuhannya’. Itulah, dan sudah
selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya Ibrahim AS,
Taurat untuk Musa AS, Injîl untuk Isa AS serta Al-Qur’an pun turun pertama kali
pada bulan Ramadlân, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi.
Romadhan berasal dari bahasa Arab (ر م ض ن) yang berarti sangat panas atau kering kerontang. Memang, bulan ramadhan itu sebelumnya hanya dikenal oleh orang-orang Arab, sehingga lebih populer di tanah Arab. Memang, bangsa Arab dikenal panas dan kering, sejak dulu hingga sekarang. Hanya saja, saat ini sudah mulai ada rebboisasi, sehingga mulai terlihat ijo royo-royo disepanjang jalan. Hampir dipastikan negeri Arab yang dikenal panas, gersang, dan tandus mulai berubah seiring dengan majunya tehnologi modern.
Asal kalimat Romadhan adalah (رم ض ), kemudian ditambah hurf Alif dan Nun (الألف والنون ) yang
berarti (sangat) panas. Di dalam kaidah bahasa Arab, jika sebuah kalimat di
akhiri dengan ‘(الألف
والنون ) bisa
berarti sangat. Seperti, الرحمن berarti sangat penyayang, غضبان yang berarti (sangat marah), جوعان yang berarti
(sangat lapar), dan عطشان yang berarti
(sangat haus). Di dalam percakapan, jika orang Arab merasa sangat lapar,
ia hanya mengucapkan’’ جوعان
‘’.
Bangsa Arab pada waktu itu mengikuti penghitungan hari
Babylonia (Irak sekarang). Bangsa
Babylonia yang budayanya pernah sangat dominan di utara Jazirah Arab
menggunakan luni-solar calendar (penghitungan tahun berdasarkan bulan
dan matahari sekaligus). Bulan ke Sembilan (ramadhan) selalu jatuh pada musim
panas yang sangat menyengat. Sejak pagi hingga petang, batu-batu gunung dan
pasir gurun terpanggang oleh segatan matahari musim panas yang waktu siangnya
lebih panjang dari pada waktu malamnya. Di malam hari panas di bebatuan dan pasir
sedikir reda, tapi sebelum dingin betul sudah berjumpa dengan pagi hari.
Demikian terjadi berulang-ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi
akumulasi panas yang menghanguskan. Hari-hari itu disebut bulan Ramadhan, bulan
dengan panas yang menghanguskan.
Saat ini masih bisa dirasakan,
ketika bulan puasa masuk musim panas, terasa sekali panjanngya waktu berbuasa.
Disebagian daerah ada yang melaksanakan puasa hingga 16 jam. Sungguh, ini
sangat melelahkan bagi mereka yang sedang berpuasa. Bahkan, diberbagai daerah
panas, siang terasa lebih panjang dari pada malamnya. Berbeda dengan kondisi
daerah Asia tenggara, seperti Indonesia, Brunai, Malaysia, dan Pilipina.
Masih terkait dengan epistimologi
Ramdhan, setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan, yang
rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis matahari, bulan Ramadhan
tak lagi selalu bertepatan dengan musim panas. Orang lebih memahami ‘panas’nya
Ramadhan secara metaphoric (kiasan). Karena di hari-hari Ramadhan orang
berpuasa, tenggorokan terasa panas karena kehausan. Atau, diharapkan dengan
ibadah-ibadah Ramadhan maka dosa-dosa terdahulu menjadi hangus terbakar dan
seusai Ramadhan orang yang berpuasa tak lagi berdosa.
Yang membedakan bulan Romadhan
dengan bulan lainnya yaitu kewajiban melakukan berpuasa. Dimana kewajiban puasa
ini sudah menjadi tradisi orang-orang terdahulu (para nabi dan utusan).
Sedangkan tujuan ahir (al-Ghoyah) Allah SWT memerintahkan puasa ialah
agar meraih derajat paling tinggi (taqwa) (Q.S al-Baqarah (2:183).
Karakteristik orang-orang bertaqwa ialah melaksanakan perintah Allah dengan
sebaik-baiknya tanpa mengeluh, dan berusaha sekuat tenaga menjauhi
larangan-larangan-Nya. Dan puasa adalah salah satu proses menuju makom ke-taqwaan.
Adakalanya yang sukses, dan adakalanya yang masih tahap pertama.
Memang tidak dipungkiri, hampir
setiap bulan Nabi Saw tidak pernah meninggalkan puasa sunnah, akan tetapi tidak
ada puasa yang dilakukan sebulan penuh, kecuali puasa bulan Romadhan. Nabi Saw
benar-benar menjalan puasa dengan sebaik-baiknya, entah wajiab (ramadhan) atau
sunnah. Beliau-lah yang paling taqwa, karena beliau benar-benar melalui proses
dan tahap yang berliku, sehinga mencapai derajat orang yang sempurna
ketaqwaanya kepada-Nya.
Puasa Romadhan ditetapkan pada tahun
kedua hijriyah, dan hukumnya wajib bagi setiap orang
muslim, baligh, berakal, serta mampu (kuat) untuk melakukan puasa. Sedangkan pahala ibadah puasa, secara khusus Allah sendiri
yang akan membalasnya. Sebagimana keterangan hadis Nabi yang berbunyi’’ semua
amal ibadah anak Adam untuknya, kecuali puasa hanya untukku, dan aku sendiri
yang akan membalasnya’’.
Puasa merupakan ibadah yang
bertujuan mengekang nafsu manusia dari segala keseneangan dan kelezatan
duniawi. Orang baru dikatakan ber-pusa, jika telah mampu mengekang segala nafsu
(kesenangan-kesenangan) dirinya. Seperti mengekang panca indera dari
ke-senangan dan kenikmatan duniwi). Dan semua semua itu dilakukan, karena
semata-mata taat dan tunduk kepada-Nya, serta mengikuti apa yang di-anjurkan
oleh Nabi Saw. Siang hari menahan diri dari perbuatan maksiat, dan memasuki
malam hari menghidupkannya dengan qiyam (sholat malam), membaca al-Qur’an,
serta merenungi kebesaran-Nya. Jika manusia yang menyatakan dirinya beriman
kepada-Nya, melaksanakan puasa bulan suci ramadhan. Akan tetapi masih menodahi
lisan dengan berbicara kotor, ngarasi, gossip, menfitnah, ghibah, namimah,
angkuh, sombong. Kemudian prilaku (tindakan) masih sering menyakitkan
tetangga, kerabat, serta mitra kerjanya. Maka, orang ini termasuk merugi.
Ternyata, tidak sedikit politisi
yang mengumbar pernyataan yang tidak seharusnya dikeluarkan. Tidak sedikit juga
para pedagang yang suka ngutil (ngentit) dalam istilah agama disebut dengan ‘’riba’’.
Padahal, menurut Nabi sekecil-kecilnya dosa riba ialah bagaikan seorang anak
lelaki menikahi ibunya sendiri. Stasion telivisi juga tidak sungkan-sngkan
menodahi bulan sacral ini dengan tayangan gossip nasioanal, sementara tayangan
itu disuguhkan pada pemirsa yang sedang menunaikan ibadah puasa. Suatu keitika
Nabi naik mimbar di masjid Nabawi, ketika kaki kanan beliau menaiki tangga
pertama, beliau mengucap ‘’amin’’. Setelah turun dari mimbar, Nabi
ditanya oleh para sahabat. Wahai Nabi, kenapa engaku mengucapkan ‘’amiin’’,
padahal tidak ada satupun orang yang berdo’a.
Siapakah gerangan, yang berdo’a
ketika engkau sedang menaiki tangga pertama? Nabi menjawab;’’ ketika aku
menaiki tangga pertama, tiba-tiba jibril datang seraya berdo’a yang artinya:’’ celaka
sekali mereka yang mendapatkan bulan suci ramadhan, akan tetapi ia tidak
mendapatkan pengampunan’’ (H.R al-Hakim). Inilah yang perlu direnugi,
memasuki bulan suci ramadhan, ternyata masih banyak orang-orang yang mengaku
islam, akan tetapi mereka masih suka menodai agamanya sendiri, bahkan menodai
kesucian bulan sacral ramadhan.
Adalah kekeliruan dan kesalahan jika terdapat persepsi bahwa bulan Ramadhan adalah bulan kelemahan dan istirahat, disebabkan adanya puasa di dalamnya. Kenyataan sebenarnya justru sebaliknya, Ramadhan adalah bulan jihad, penuh kekuatan dan semangat. Berikut ini akan kami bawakan sejumlah peristiwa penting, peperangan dan kemenangan kaum muslimin yang terjadi di bulan Ramadhan. Semoga ada manfaatnya.
Pertama: Diturunkannya al-Qur’ān pada malam Lailatul Qadr di bulan
Ramadhan, yakni turunnya al-Qur’ān secara sekaligus dari al-Lauhu’l
Mahfūzh ke langit dunia, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibn ‘Abbās.
Kedua: Perang Badr al-Kubrā, pada hari Jum’at, tanggal 17
Ramadhan tahun ke-2 H (623 M). Kaum muslimin berjumlah 300 lebih menghadapi
sekitar 1000 orang musyrikin. Peperangan dimenangkan oleh kaum muslimin.
Terbunuh pada pertempuran ini sejumlah pembesar kafir Quraisy, di antaranya Abū
Jahl, Syaibah Ibn Rabī`ah dan Walīd Ibn ‘Utbah, dan lain-lain. Jumlah kafir
Quraisy yang terbunuh sebanyak 70 orang dan 70 orang lainnya tertawan.
Sementara dari pihak muslimin gugur 14 orang. Peristiwa Badr memiliki dampak
positif yang sangat kuat sekaligus asas bagi masa depan Islam. Karena itulah,
al-Qur’ān menamakan peristiwa tersebut sebagai yaum al-furqān (hari pembedaan, QS. Al-Anfāl [8]:
41), karena peristiwa itu membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Hari
dimana kaum mukminin sangat ditinggikan dan orang-orang kafir menjadi sangat
direndahkan.
Ketiga: Penaklukan kota Makkah, pada hari Jum’at, tanggal 20 atau
21 Ramadhan tahun 8 H (629 M). Pada peristiwa tersebut RasuluLlāh menghancurkan
berhala-berhala di sekitar Ka’bah yang berjumlah 360 buah. Setelah itu
RasuluLlāh berkata, “Hai orang-orang Quraisy, apa kiranya yang akan saya
lakukan terhadap kalian di hari ini?” Mereka menjawab, “Sesuatu yang baik.
Sebab engkau adalah saudara yang baik dan akan memperlakukan saudara dengan baik
pula.” Nabi `
berkata, “Pergilah, kalian bebas.” Ini merupakan amnesti terbesar dan kasih
sayang yang sangat agung. Jatuhnya Makkah membuka jalan untuk penaklukan
seluruh jazirah Arab.
Keempat: Penaklukan Andalusia, pada 27 Ramadhan 92 H atau 19 Juli
711 M. Thariq Ibn Ziyād memimpin kaum muslimin menuju Andalusia melalui jalur
laut. Konon, Thāriq membakar kapal-kapal yang membawa pasukan kaum muslimin ke
Andalusia, lalu membawakan pidatonya yang masyhur, “Wahai manusia, ke mana
kalian akan lari?! Laut di belakang kalian, sementara musuh di depan kalian.
Tidak ada pilihan lain bagi kalian selain jujur kepada diri sendiri dan sabar.”
Kelima: Perang az-Zallāqah, pada hari Jum’at, 25 Ramadhan 479
H (1086 M). Pada saat itu pasukan muslimin Murābithūn di bawah pimpinan Yusuf
Ibn Tāsyifīn mendapat kemenangan atas pasukan Kristen di bawah pimpinan Franco
IV. Setelah itu, jadilah seluruh Andalusia berada di bawah pemerintahan
Murābithūn.
Keenam: Perang ‘Ain Jalūt (dekat Nablus di Palestina), pada
hari Jum’at, 15 Ramadhan 658 H atau 3 September 1260 M. Pada peristiwa
tersebut, kaum muslimin di bawah pimpinan Quthuz, mengalahkan Mongolia. Perang
ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam dan merupakan kemenangan
pertama yang berhasil dicapai oleh kaum muslimin terhadap orang-orang Mongol.
Setelah sebelumnya Mongol sempat meluluhlantakkan Baghdād dan membantai sekitar
sejuta orang muslim pada Muharram 656 H (1258 M). Ini menghancurkan
mitos bahwa Mongol tidak terkalahkan. Setelah peristiwa tersebut, kemenangan demi
kemenangan diraih oleh kaum muslimin atas Mongolia.
Ketujuh: proklamasi kemerdekaan
Indonesia, pada hari
Jum’at, 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadhān 1364 H.
HIKMAH PUASA
(Beberapa Atribut dan Hikmah Bulan Suci Ramadhan)
Marhaban ya Ramadhan
Ramadhan adalah bulan disyari'atkannya puasa, yang merupakan salah satu dari rukun Islam, sebagaimana firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atasa orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa" [al-Baqarah:183]
Puasa telah dilaksanakan sejak lama sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu puasa. Dalam sejarah agama-agama besar, puasa sudah tidak asing lagi.
Universalitas puasa bisa dimengerti karena esensi dari puasa itu sendiri bukannya "mengerjakan" melainkan "menahan diri", yakni menahan diri dari makan dan minum, tidak melakukan seksualitas di siang hari serta menghindari sikap hewani yang merusak. Dianjurkan pula ibadah pada malam harinya untuk beribadah (qiyamullail). Karena sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia, sumber segala rahmat dan kebaikan. Allah memberi keberkahan dan maghfirah. Para Malaikat turun untuk ikut memanjatkan do'a dan pujian agar manusia memperoleh ampunan. Semua pintu kebaikan dibuka lebar-lebar serta semua setan "dibelenggu." Rasulullah mengkhususkan bulan ini sebagai bulan untuk beribadah melampaui bulan-bulan lainnya. Demikian juga para sahabat, mereka saling bergegas dalam amal-amal kebaikan semata-mata mengharap ridha Allah SWT.
Hikmah Ramadhan
Selain posisi istimewa di sisi Allah SWT yang diperoleh oleh seorang mukmin yang berpuasa, hikmah dari puasa juga teramat besar. Baik hikmah rohani maupun jasmani, baik terhadap diri pribadi maupun kepada masyarakat luas.
Ramadhan juga sebagai syahrul ibadah (bulan ibadah) dimana terdapat nilai ibadah yang tinggi serta semangat beribadah yang tinggi. Selain itu juga sebagai "Syahrul Fath" (bulan kemenangan). Umat Islam memperoleh kemenangan dalam "perang kecil", perang Badar. Bisa dikatakan juga sebagai "Syahrul Huda" (bulan petunjuk) karena pada bulan Ramadhanlah turunnya petunjuk kehidupan yaitu al-Quran pada pertama kalinya. Selain itu bulan Ramadhan juga disebut sebagai "Syahrul Ghufran" (bulan penuh ampunan). Pada bulan ini, dimudahkan pintu pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Sebagai "Syahrus Salam" (bulan keselamatan), bulan Ramadhan adalah bulan yang mengandung nilai-nilai edukatif yang dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian bagi umat manusia. Dan yang terakhir adalah sebagai "Syahrul Jihad" (bulan perjuangan). Pada bulan ini, manusia dihadapkan pada perjuangan yang amat besar. Mereka menahan diri dari perbuatan yang biasa diperbuat, selain menahan diri dari "ritualitas" makan dan minum sebagai kebutuhan primer sejak fajar sampai terbenamnya matahari. Dan kalau sudah berbuka, dianjurkan untuk menahan diri dari makan dan minum yang berlebihan bahkan dianjurkan untuk membatasinya. Upaya ini merupakan cara untuk memelihara kesehatan jasmani. Bukankah masalah perut (makan dan minum) juga pemicu timbulnya penyakit jiwa? Begitulah kira-kira apa yang dikatakan para sufi.
Kalau penyakit "rakus dan tamak" menimpa seseorang, akibat dan bahayanya bukan hanya terbatas pada lingkungan kecil tetapi lambat laun akan merambat dalam kehidupan berbangsa sehingga akan menimbulkan semangat kapitalisme yang kemudian bersifat ekspansif, yaitu mengeksploitasi milik orang lain akibat sifat serakahnya tersebut. Sehingga benar apa yang disinyalir Imam Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin-nya bahwa bencana paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut.
Kalau kita melaksanakan puasa, kita akan mengadaptasi diri kita dengan mereka yang berekonomi lemah yang sering merasakan haus dan lapar, sehingga akan timbul rasa kasih sayang dan ketajaman rasa sosial yang akan menjadi pengalaman rohani tersendiri. Mungkinkah kasih sayang tidak tumbuh ketika pemandangan itu terjadi di depan mata kita?
Dalam batas yang paling rendah; setidak-tidaknya kehausan dan kelaparan yang diakibatkan puasa tersebut akan mengingatkan kita pada kaum fakir miskin sehingga termanifestasi dengan sedekah yang banyak sebagai tindakan konkrit dari rasa solidaritas sosial yang nantinya akan menjembatani antara the have dan the have not yang pada titik akhirnya akan tercipta sumber daya manusia yang mempunyai etika dan kepekaan sosial yang tinggi.
Masih banyak hikmah-hikmah lain yang bisa kita petik intisarinya dari pelaksanaan puasa. Semoga bukan hanya sekedar idealisme belaka, melainkan sebuah realitas sepanjang masa setelah menjalani Ramadhan.
Semoga saja kita dapat menjadikan Ramadhan sebagai wadah penggemblengan mental sehingga tercipta kontrol diri yang baik yang akan meluas dampaknya ke masyarakat sehingga puasa bukan hanya memperoleh lapar dan haus saja, agar kita tidak tergolong orang-orang yang disinyalir Nabi SAW:
"Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus."
Tapi kita berharap dengan puasa disamping hikmah yang dikandungya, yang paling penting adalah semua semata-mata pengabdian kita kepada Allah SWT.
Semoga ibadah kita diterima Allah SWT. Amien.
(Beberapa Atribut dan Hikmah Bulan Suci Ramadhan)
Marhaban ya Ramadhan
Ramadhan adalah bulan disyari'atkannya puasa, yang merupakan salah satu dari rukun Islam, sebagaimana firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atasa orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa" [al-Baqarah:183]
Puasa telah dilaksanakan sejak lama sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu puasa. Dalam sejarah agama-agama besar, puasa sudah tidak asing lagi.
Universalitas puasa bisa dimengerti karena esensi dari puasa itu sendiri bukannya "mengerjakan" melainkan "menahan diri", yakni menahan diri dari makan dan minum, tidak melakukan seksualitas di siang hari serta menghindari sikap hewani yang merusak. Dianjurkan pula ibadah pada malam harinya untuk beribadah (qiyamullail). Karena sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia, sumber segala rahmat dan kebaikan. Allah memberi keberkahan dan maghfirah. Para Malaikat turun untuk ikut memanjatkan do'a dan pujian agar manusia memperoleh ampunan. Semua pintu kebaikan dibuka lebar-lebar serta semua setan "dibelenggu." Rasulullah mengkhususkan bulan ini sebagai bulan untuk beribadah melampaui bulan-bulan lainnya. Demikian juga para sahabat, mereka saling bergegas dalam amal-amal kebaikan semata-mata mengharap ridha Allah SWT.
Hikmah Ramadhan
Selain posisi istimewa di sisi Allah SWT yang diperoleh oleh seorang mukmin yang berpuasa, hikmah dari puasa juga teramat besar. Baik hikmah rohani maupun jasmani, baik terhadap diri pribadi maupun kepada masyarakat luas.
Ramadhan juga sebagai syahrul ibadah (bulan ibadah) dimana terdapat nilai ibadah yang tinggi serta semangat beribadah yang tinggi. Selain itu juga sebagai "Syahrul Fath" (bulan kemenangan). Umat Islam memperoleh kemenangan dalam "perang kecil", perang Badar. Bisa dikatakan juga sebagai "Syahrul Huda" (bulan petunjuk) karena pada bulan Ramadhanlah turunnya petunjuk kehidupan yaitu al-Quran pada pertama kalinya. Selain itu bulan Ramadhan juga disebut sebagai "Syahrul Ghufran" (bulan penuh ampunan). Pada bulan ini, dimudahkan pintu pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Sebagai "Syahrus Salam" (bulan keselamatan), bulan Ramadhan adalah bulan yang mengandung nilai-nilai edukatif yang dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian bagi umat manusia. Dan yang terakhir adalah sebagai "Syahrul Jihad" (bulan perjuangan). Pada bulan ini, manusia dihadapkan pada perjuangan yang amat besar. Mereka menahan diri dari perbuatan yang biasa diperbuat, selain menahan diri dari "ritualitas" makan dan minum sebagai kebutuhan primer sejak fajar sampai terbenamnya matahari. Dan kalau sudah berbuka, dianjurkan untuk menahan diri dari makan dan minum yang berlebihan bahkan dianjurkan untuk membatasinya. Upaya ini merupakan cara untuk memelihara kesehatan jasmani. Bukankah masalah perut (makan dan minum) juga pemicu timbulnya penyakit jiwa? Begitulah kira-kira apa yang dikatakan para sufi.
Kalau penyakit "rakus dan tamak" menimpa seseorang, akibat dan bahayanya bukan hanya terbatas pada lingkungan kecil tetapi lambat laun akan merambat dalam kehidupan berbangsa sehingga akan menimbulkan semangat kapitalisme yang kemudian bersifat ekspansif, yaitu mengeksploitasi milik orang lain akibat sifat serakahnya tersebut. Sehingga benar apa yang disinyalir Imam Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin-nya bahwa bencana paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut.
Kalau kita melaksanakan puasa, kita akan mengadaptasi diri kita dengan mereka yang berekonomi lemah yang sering merasakan haus dan lapar, sehingga akan timbul rasa kasih sayang dan ketajaman rasa sosial yang akan menjadi pengalaman rohani tersendiri. Mungkinkah kasih sayang tidak tumbuh ketika pemandangan itu terjadi di depan mata kita?
Dalam batas yang paling rendah; setidak-tidaknya kehausan dan kelaparan yang diakibatkan puasa tersebut akan mengingatkan kita pada kaum fakir miskin sehingga termanifestasi dengan sedekah yang banyak sebagai tindakan konkrit dari rasa solidaritas sosial yang nantinya akan menjembatani antara the have dan the have not yang pada titik akhirnya akan tercipta sumber daya manusia yang mempunyai etika dan kepekaan sosial yang tinggi.
Masih banyak hikmah-hikmah lain yang bisa kita petik intisarinya dari pelaksanaan puasa. Semoga bukan hanya sekedar idealisme belaka, melainkan sebuah realitas sepanjang masa setelah menjalani Ramadhan.
Semoga saja kita dapat menjadikan Ramadhan sebagai wadah penggemblengan mental sehingga tercipta kontrol diri yang baik yang akan meluas dampaknya ke masyarakat sehingga puasa bukan hanya memperoleh lapar dan haus saja, agar kita tidak tergolong orang-orang yang disinyalir Nabi SAW:
"Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus."
Tapi kita berharap dengan puasa disamping hikmah yang dikandungya, yang paling penting adalah semua semata-mata pengabdian kita kepada Allah SWT.
Semoga ibadah kita diterima Allah SWT. Amien.
Alhamdulillah.
Ramadhan termasuk bulan arab yang
dua belas. Ia adalah bulan nan agung dalam agama Islam. Dia berbeda
dengan bulan-bulan lainnya karena sejumlah keistimewaan dan keutamaan yang ada
padanya. Di antaranya yaitu:
1. Allah Azza wa Jalla menjadikan puasa
(di Bulan Ramadhan) merupakan rukun keempat di antara Rukun Islam.
Sebagaimana firman-Nya:
( شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه) سورة
البقرة: 185
"(Beberapa hari yang ditentukan
itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu”. (SQ.
Al-Baqarah: 185)
Terdapat riwayat shahih dalam dua
kitab shahih; Bukhari, no. 8, dan Muslim, no. 16 dari hadits Ibnu Umar,
sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
بني
الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله , وأن محمدا عبد الله ورسوله , وإقام
الصلاة , وإيتاء الزكاة ، وصوم رمضان , وحج البيت.
“Islam dibangun atas lima (rukun);
Bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan
sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan dan haji ke Baitullah.”
2. Allah menurunkan
Al-Qur’an (di dalam Bulan Ramadan).
Sebagaimana firman Allah Ta’ala pada
ayat sebelumnya,
( شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ )
"(Beberapa hari yang ditentukan
itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. (QS. Al-Baqarah: 185)
Allah Ta’ala juga berfirman:
( إنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) سورة القدر: 1
"Sesungguhnya Kami turunkan
(Al-Qur’an) pada malam Lailatur Qadar.”
3. Allah
menetapkan Lailatul Qadar pada bulan tersebut, yaitu malam yang lebih baik dari
seribu bulan, sebagaimana firman Allah:
( إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ . وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ .
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ
أَمْرٍ . سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ) سورة القدر: 1-5
"Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan, Dan tahukah kamu apakah malam
kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadar : 1-5).
Dan firman-Nya yang lain:
( إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ) سورة الدخان:
3
"sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan.”
(QS. Ad-Dukhan: 3).
Allah telah mengistimewakan bulan
Ramadhan dengan adanya Lailaul Qadar. Untuk menjelaskan keutamaan malam yang
barokah ini, Allah turunkan surat Al-Qadar, dan juga banyak hadits yang
menjelaskannya, di antaranya Hadits Abu Hurairah radhialahu ’anhu, dia berkata:
Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
أَتَاكُمْ
رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ ,
تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ , وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ ,
وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ
, لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ,
مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ " رواه النسائي ( 2106 ) وأحمد (8769)
صححه الألباني في صحيح الترغيب ( 999 ) .
“Bulan Ramadhan telah tiba menemui
kalian, bulan (penuh) barokah, Allah wajibkan kepada kalian berpuasa. Pada
bulan itu pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu (neraka) jahim ditutup,
setan-setan durhaka dibelenggu. Padanya Allah memiliki malam yang lebih baik
dari seribu bulan, siapa yang terhalang mendapatkan kebaikannya, maka sungguh
dia terhalang (mendapatkan kebaikan yang banyak)." (HR. Nasa’I, no. 2106, Ahmad, no. 8769. Dishahihkan oleh Al-Albany
dalam Shahih At-Targhib, no. 999)
Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu
’anhu, dia berkata, Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ . (رواه البخاري، رقم 1910، ومسلم، رقم 760
)
“Barangsiapa yang berdiri
(menunaikan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan (penuh) keimanan dan
pengharapan (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Bukhari, no. 1910, Muslim, no. 760).
4. Allah menjadikan
puasa dan shalat yang dilakukan dengan keimanan dan mengharapkan (pahala)
sebagai sebab diampuninya dosa.
Sebagaimana telah terdapta riwayat
shahih dalam dua kitab shahih; Shahih Bukhori, no. 2014, dan shahih
Muslim, no. 760, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, sesungguhnya Nabi
sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
من
صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa yang berpuasa (di
Bulan) Ramadhan (dalam kondisi) keimanan dan mengharapkan (pahala), maka dia
akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”.
Juga dalam riwayat Bukhari, no.
2008, dan Muslim, no. 174, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ومن
قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
”Barangsiapa yang berdiri
(menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka
dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”.
Umat islam telah sepakat (ijma) akan
sunnahnya menunaikan qiyam waktu malam-malam Ramadhan. Imam Nawawi telah
menyebutkan bahwa maksud dari qiyam di bulan Ramadhan adalah shalat Taraweh,
Artinya dia mendapat nilai qiyam dengan menunaikan shalat Taraweh.
5. Allah (di
bulan Ramadhan) membuka pintu-pintu surga, menutup pintu-pintu neraka dan
membelenggu setan-setan.
Sebagaimana dalam dua kitab shahih,
Bukhari, no. 1898, Muslim, no. 1079, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu
’anhu, dia berkata: Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
إذا
جاء رمضان فتحت أبواب الجنة , وغلقت أبواب النار , وصُفِّدت الشياطين
“Ketika datang (bulan) Ramadan,
pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan
dibelenggu”.
6. Pada setiap malam
(bulan Ramadan) ada yang Allah bebaskan dari (siksa) neraka.
Diriwayatkan Ahmad (5/256) dari
hadits Abu Umamah, sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
لله
عند كل فطر عتقاء. (قال المنذري: إسناده لا بأس به، وصححه الألباني في صحيح
الترغيب، رقم 987)
"Pada setiap (waktu) berbuka,
Allah ada orang-orang yang dibebaskan (dari siksa neraka)” (Al-Munziri berkata: ”Sanadnya tidak mengapa”, dishahihkan
oleh Al-Albany dalam shahih At-Targhib, no. 987)
Diriwayatkan dari Bazzar (Kasyf, no.
962), dari hadits Abu Said, dia berkata: Rasulullah sallallahu’alaihi wasallan
bersabda:
إن
لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة _ يعني في رمضان _ , وإن لكل مسلم في كل
يوم وليلة دعوة مستجابة "
“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa
Ta’ala memberikan kebebasan dari siksa neraka pada setiap malam –yakni di bulan
Ramadan- dan sesungguhnya setiap muslim pada waktu siang dan malam memiliki doa
yang terkabul (mustajabah)”.
7. Puasa pada
bulan Ramadan (merupakan) sebab terhapusnya dosa-dosa yang lampau sebelum
Ramadan jika menjauhi dosa-dosa besar.
Sebagaimana terdapat riwayat dalam
shahih Muslim, no. 233, sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wasallam bersabda:
الصلوات
الخمس , والجمعة إلى الجمعة , ورمضان إلى رمضان , مكفرات ما بينهن إذا اجتنبت
الكبائر
“Dari shalat (ke shalat) yang lima
waktu, dari Jum’at ke Jum’at, dari Ramadan ke Ramadhan, semua itu dapat
menghapuskan (dosa-dosa) di antara waktu tersebut, jika menjauhi dosa-dosa
besar.”
8. Puasa (di
bulan Ramadan) senilai puasa sepuluh bulan.
Yang menunjukkan hal itu, adalah
riwayat dalam shahih Muslim, no. 1164, dari hadits Abu Ayub Al-Anshary, dia
berkata:
من
صام رمضان , ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa (pada
bulan Ramadhan) kemudian diikuti (puasa) enam (hari) pada bulan Syawwal, maka
hal itu seperti puasa setahun”.
Juga diriwayatkan oleh Ahmad, no.
21906, sesunggunya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
من
صام رمضان فشهر بعشرة أشهر ، وصيام ستة أيام بعد الفطر فذلك تمام السنة
“Siapa yang berpuasa (pada bulan)
Ramadan, maka satu bulan sama seperti sepuluh bulan. Dan (siapa yang berpuasa
setelah itu) berpuasa selama enam hari sesudah Id (Syawal), hal itu (sama
nilainya dengan puasa) sempurna satu tahun”.
9. Orang yang
menunaikan qiyamul lail (Taraweh) bersama imam hingga selesai, dicatat baginya
seperti qiyamul lail semalam (penuh).
Sebagaimana terdapat riwayat dari
Abu Daud, no. 1370 dan lainnya dari hadits Abu Dzar radhiallahu ’anhu, dia
berkata: Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Bahwasiapa menunaikan
qiyamul lail bersama imam hingga selesai, dicatat baginya (pahala) qiyamul lail
semalam (penuh)”. (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab 'Shalat Taraweh',
hal. 15)
10. Melaksanakan
umrah pada bulan Ramadan, (pahalanya) seperti haji.
Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 1782,
dan Muslim, no. 1256, dari Ibnu Abbas radhiallahu ’anhuma, dia berkata:
Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda kepada wanita dari Anshar: ”Apa
yang menghalangi anda melaksanakan haji bersama kami?” Dia berkata: ”Kami hanya
mempunyai dua ekor onta untuk menyiram tanaman. Bapak dan anaknya menunaikan
haji dengan membawa satu ekor onta dan kami ditinggalkan satu ekor onta untuk
menyiram tanaman." Beliau bersabda: “Jika datang bulan Ramadan tunaikanlah
umrah, karena umrah (di bulan Ramadhan) seperti haji”. Dalam riwayat
Muslim: “(seperti) haji bersamaku”.
11. Disunnahkan
i’tikaf, karena Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam senantiasa
melaksanakannya, sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiallahu ’anha,
sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam biasanya beri’tikaf pada sepuluh
malam terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah ta’ala mewafatkannya, kemudian
istri-istrinya beri’tikaf (sepeninggal) beliau”. (HR. Bukhari, no. 1922,
Muslim, no. 1172).
12. Sangat
dianjurkan sekali pada bulan Ramadan tadarus Al-Qur’an dan memperbanyak
tilawah.
Cara tadarus Al-Qur’an adalah dengan
membaca (Al-Qur’an) kepada orang lain dan orang lain membacakan (Al-Qur’an)
kepadanya. Dalil dianjurkannya (adalah): “Sesungguhnya Jibril bertemu Nabi
sallallahu ’alaihi wa sallam setiap malam di bulan Ramadhan dan membacakan
(Al-Qur’an) kepadanya”. (HR. Bukhari, no. 6, dan Muslim, no. 2308). Membaca
Al-Qur’an dianjurkan secara mutlak, akan tetapi pada bulan Ramadan sangat
ditekankan.
13. Dianjurkan di
bulan Ramadhan memberikan buka kepada orang yang berpuasa,
berdasarkan hadits Zaid Al-Juhany radiallahu ’anhu berkata, Rasulullah
sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa memberi buka (kepada)
orang yang berpuasa, maka dia (akan mendapatkan) pahala seperti orang itu,
tanpa mengurangi pahala orang berpuasa sedikit pun juga”.
(HR.Tirmizi, no. 807, Ibnu Majah, no. 1746, dinyatakan shahih oleh Al-Albany
dalam shahih Tirmizi, no. 647).
Tidak ada komentar: