BIOGRAFI,SEJARAH, RIWAYAT SYEKH ABDUL JABBAR JOJOGAN

Telaah Silsilah Syaikh Abduljabbar Dari Berbagai Sumber Kajian dalam tulisan ini mencoba untuk menjelaskan silsilah Syaikh Abduljabbar yang diambil dari berbagai sumber atau versi, kemudian diramu menjadi yang ada di tangan pembaca saat ini. Sumber-sumber yang didapat seperti dari silsilah versi Gresik, versi Padangan, dan versi Jojogan. Data tersebut berasal dari catatan-catatan para dzurriahnya yang berlangsung secara turun-temurun, maupun catatan-catatan baru yang merujuk dari berbagai sumber tertentu. Dari tiga sumber yang berhasil dikumpulkan ini, masih ditemukan kesulitan & kesamaran dalam beberapa hal termasuk mengenai nama orang tua Syaikh Abduljabbar. Sebab, antara catatan yang satu dengan catatan yang lain berbeda-beda cara menarik pertalian keturunan. Hal ini disebabkan perbedaan sumber-sumber yang dimilikinya. Memang amat rumit untuk mencari kejelasan dari data tentang silsilah yang dikumpulkan, disebabkan tidak adanya dokumen pasti yang telah disepakati bersama. Akan tetapi pada bab ini penulis mencoba mengomparasikannya agar lebih jelas dan gamblang, walaupun masih banyak kekurangan dan pembenahan nantinya. Melacak Masa Hidup Syaikh Abduljabbar Syaikh Abduljabbar adalah keturunan Pangeran Benowo. Tempat dan tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti, karena tidak adanya bukti ”autentik” yang tercatat dalam manuskrip maupun buku-buku sejarah Jawa. Akan tetapi dilihat dari masa kehidupan leluhurnya (Pangeran Benowo), dapat diperkirakan ia lahir di Pajang (wilayah Surakarta). Hal ini diperkuat dengan adanya folklore lisan (cerita rakyat) yang beredar dikalangan masyarakat Jojogan dan sekitarnya, bahwa sampainya Syaikh Abduljabbar di Jojogan karena ”pelarian” dari Pajang akibat kalah perang dengan penjajah Belanda. Jika benar Syaikh Abduljabbar ”lari” dari Pajang maka dapat diperkirakan saat itu tahun 1628 atau 1629. Ini didasarkan pada tahun penyerangan Mataram ke Batavia, pusat VOC. Apalagi menurut Drs. KNG. H. Agus Sunyoto, M.Pd (peneliti dan penulis sejarah), Kerajaan Mataram pernah mempunyai seorang utusan yang bernama Pangeran Sumoyudo. Hal ini diperkuat dengan adanya informasi bahwa beliau hidup sejaman atau lebih muda sedikit dengan mbah Sambu (Lasem), sedangkan mbah Sambu hidup sejaman dengan bupati Lasem ke-14, Adipati Tejo Kusumo I yakni sekitar tahun 1585-1632. Kemungkinan kedua, beliau sampai di Tuban sekitar tahun 1673. Ini di dasarkan pada Babad Tuban yang mengabarkan bahwa, pada tahun 1661 Tuban dipimpin oleh seorang Bupati bernama Pangeran Anom, namun dia hanya menjabat selama 12 tahun karena dipecat oleh Sri Sultan Mataram. Sri Sultan memberlakukan kebijakan untuk meniadakan sementara waktu jabatan bupati di Tuban dan menggantinya dengan beberapa perwakilan (Umbul) saja, salah satu umbul itu bernama Pangeran Sumoyudo di Singgahan. Maka berdasarkan data di atas dapat disimpulkan, masa kehidupan beliau antara akhir abad khir ke-15 hingga akhir abad ke-16. Melacak Ayah Syaikh Abduljabbar Mengenai ayah Mbah Jabbar, hanya satu dari ketiga manuskrip tersebut yang berbeda. Manuskrip versi Gresik dan Jojogan menyebutkan Pangeran Benowo sebagai ayah Mbah Jabbar. Sedangkan manuskrip versi Padangan mencatat Pangeran Wuluh sebagai ayahnya. Akan tetapi (menurut penulis) yang paling mendekati kebenaran dan rasional adalah silsilah versi Gresik dan Jojogan. Hal ini dapat kita hitung melalui perbandingan Jarak masa hidup antara Pangeran Benowo dan Mbah Jabbar dengan menghitung keturunan ke berapa posisi Mbah Jabbar dari Pangeran Benowo (di dalam manuskrip Padangan). Apabila diperhatikan (di dalam manuskrip Padangan), Mbah Jabbar merupakan generasi ke-5 dari Pangeran Benowo, sedangkan jarak antara Mbah Jabbar dengan Pangeran Benowo hanya 39 tahun (dihitung dari tahun sampainya Mbah Jabbar di Jojogan {1628} dikurangi tahun turunnya Pangeran Benowo dari tahta Pajang {1589}). Pertanyaanya, mungkinkah dalam waktu 39 tahun sudah menurunkan lima keturunan? Jawabnya tentu tidak mungkin. Perhatikan silsilah versi Padangan berikut: Melacak Putera & Isteri-Isteri Mbah Jabbar (Syaikh Abduljabbar) Mengenai Isteri Mbah Jabbar (Syaikh Abduljabbar), dari hasil wawancara dan catatan manuskrip sepakat bahwa Mbah Jabbar memiliki empat orang Isteri. Isteri pertama adalah anak dari Mbah Sambu (Sayid Abdurrahman), cucu Sunan Wuluh Giri. Sedangkan Sunan Wuluh Giri adalah putera Sunan Giri. Jadi Isteri Mbah Jabbar pertama adalah keturunan ke-3 dari Sunan Giri (cicit). Isteri pertama mempunyai lima anak laki-laki dan tiga perempuan yakni, Kiai Abdullah Sambu, Kiai Fatah, Kiai Penengah, Kiai Abdul Jalal, Kiai Abdul Djalil, Nyai Arif, Nyai Dasim, dan Nyai Ma’ruf. Isteri kedua adalah puteri Kiai Sabil. Selain silsilah versi Gresik, silsilah versi Padangan juga mencatat demikian. Kiai Sabil mempunyai empat orang anak; Yang pertama bernama Kiai Sabat (bertempat di padangan), kedua Nyai Sambu (bertempat di Lasem/Isteri Mbah Sambu), ketiga Nyai Abduljabbar/Isteri Mbah Jabbar (bertempat di Jojogan-Tuban), dan yang keempat Bagus Abdurrahim (bertempat di Kaliwuluh-Sambeng). Jadi Isteri kedua merupakan anak ketiga dari kiai Sabil. Berdasarkan manuskrip Gresik, dari isteri kedua ini mempunyai satu anak perempuan dan dua anak laki-laki; Nyai Mursyid, Kiai Anom dan Kiai Muhammad. Namun manuskrip versi Jojogan mencatat Kiai Mursyid, Kiai Anom dan Nyai Dalem. Berbeda lagi dengan manuskrip padangan yang hanya menyebutkan satu anak yakni Kiai Anom. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan dari pengambilan garis keturunan yang berbeda dari setiap dzurriahnya. Versi Dukun, Gresik Versi Jojogan, Tuban Dan Versi Padangan, Bojonegoro Isteri ketiga berasal dari Jipang (kini Bojonegoro). Silsilah versi Gresik tidak menyebutkan siapa orang tuanya, akan tetapi hanya disebutkan, bahwa Isteri ketiga ini menurunkan seorang anak perempuan bernama Nyai Ismail. Isteri keempat juga tidak disebutkan dari mana dan siapa orang tuanya. Namun pada lembaran lain (masih dalam manuskrip versi Gresik) menyebutkan, salah satu Isteri Mbah Jabbar itu bernama Nyai Ageng Kuning anak keempat dari Abdul Kohhar (bertempat di Desa Senori, Bulu, Tuban). Kemungkinan besar Isteri keempat inilah yang bernama Nyai Ageng kuning tersebut. Dan dari sinilah nantinya menurunkan orang-orang Tuyuan, Rumantren. Dalam manuskrip versi Gresik tidak menyebutkan berapa jumlah anak dari Isteri keempat (Isteri terakhir) ini, akan tetapi hanya mencatat bangsa Tuyuan Rumantren sebagai keturunannya. Selain versi di atas, juga terdapat versi lain yang menyebutkan, bahwa Isteri Mbah Jabbar ada yang berasal dari Pajang dan Tuban. Isteri dari Tuban adalah puteri dari Mbah Modin atau yang lebih dikenal dengan Mbah sunan Bejagung. Konon kedua orang Isterinya tersebut yang sekarang dimakamkan di sebelah kanan dan kiri Mbah Jabbar. Akan tetapi data ini penulis anggap lemah karena tidak adanya manuskrip yang mencatatnya. Melacak Saudara Mbah Jabbar (Syaikh Abduljabbar) Dari Berbagai Sumber 1. Pangeran Sidowini Setahun, setelah berkuasa, Pangeran Benowo turun (1589) dari tahtanya, lalu menjadi pengabdi agama Islam. Dengan demikian, Pajang berada sepenuhnya di bawah kesultanan Mataram. Gagak Bening kemudian di angkat oleh Mataram menjadi penguasa Pajang. Setelah berkuasa dua tahun Gagak Bening wafat, lalu digantikan oleh putera Pangeran Benowo sebagai raja bawahan Mataram Yang bernama Pangeran Sidowini. Pada tahun 1618, karena dianggap memberontak Pangeran Sidowini ini digulingkan oleh Sultan Agung (Raja Mataram). Raja bawahan Pajang sendiri melarikan diri ke Giri dan Surabaya. 2.Empat Saudara Syaikh Abduljabbar (Versi Gresik) Manuskrip Gresik mencatat, Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir) mempunyai dua orang putera yang sama-sama diberi nama ”Pangeran Benowo”. Akan tetapi Pangeran Benowo I lebih dikenal dengan nama Pangeran Selarong . Sedangkan Pangeran Benowo II dikenal luas dengan nama Pangeran Benowo. Namun setelah melalui penelitian yang seksama, penulis menyimpulkan bahwa Pangeran Benowo I bukanlah anak kandung. Dia adalah anak angkat Sultan Hadiwijoyo dengan nama asli Sutowijoyo atau Senopati. Dia lah yang kelak menjadi raja Mataram pertama. Nama Selarong sendiri adalah gelar yang diberikan Sultan Hadiwijoyo kepadanya. Dari Pangeran Benowo II inilah Mbah Jabbar lahir. Beliau mempunyai empat orang saudara, satu puteri dan empat putera. Anak pertama perempuan bernama Ratu Emas/Mas, anak ke-2 Pangeran Preggodani yang berjuluk Kiai Pengging, yang ke-3 Pangeran Preggo Kusumo berjuluk Kiai Mojo, anak ke-4 Pangeran Dadung Kusumo, sedangkan anak terakhir bernama Pangeran Sumoyudo alias Mbah Jabbar. 3.Saudara Mbah Jabbar (Syaikh Abduljabbar) (Versi Buku-Buku Sejarah dan Babad) Dalam buku-buku sejarah maupun catatan babad, Pangeran Benowo mempunyai dua anak yang nantinya menurunkan orang-orang terkenal. Anak perempuan bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putera Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Dan yang laki-laki bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. 4. Apakah Mbah Sambu Saudara Kandung Mbah Jabbar? Sayid Abdurrahman atau yang lebih dikenal Mbah Sambu (Lasem) , perlu penulis bahas dalam bab ini, sebab sebagian masyarakat mempercayai bahwa beliau merupakan salah satu saudara kandung Mbah Jabbar. Hasil wawancara dengan Kiai Yahya Maskur dan Kiai Hamid Baidlowi juga mengatakan demikian. Akan tetapi, berdasarkan data yang penulis peroleh dari KH.Maimun Basyir Pethak, Bojonegoro, Mbah Sambu adalah saudara ipar Mbah Jabbar. Karena keduanya sama-sama menantu Kiai Sabil Padangan. Bukti ini tertuang dalam sebuah lembaran silsilah yang ditulis oleh leluhur KH. Maimun Basyir. Data Ini juga diperkuat oleh manuskrip versi Gresik, yakni Manuskrip yang dipegang oleh KH. Mahfudz Ma’shum (putera tertua KH. Ma’shum Sufyan). Jika didasarkan pada Manuskrip Gresik maka sangat mustahil Mbah Jabbar sebagai saudara kandung Mbah Sambu, karena Selain sebagai saudara ipar ia juga sebagai mertua Mbah Jabbar. Amati data berikut: Sistem & Strategi Dakwah Antara Mbah Jabbar & Mbah Sambu Antara Mbah Jabbar dan Mbah Sambu terdapat perbedaan sistem dan strategi di dalam melawan Kompeni Belanda. Yakni kopreshen dan non kopresen. Kopreshen maksudnya bersikap kerjasama (cooperative) sedangkan non kopreshen berarti tidak bekerja sama (non cooperativ). Mbah Sambu sebagai pejuang melawan Kompeni memilih menggunakan kedua sistem tersebut. Oleh karenanya pada suatu saat dia bisa bermusuhan dengan Kompeni dan pada saat yang lain bekerjasama dan duduk bersama dengan Kompeni. Maka tidak heran jika Mbah Sambu dekat dengan pejabat, pemerintahan dan Kompeni sehingga berhasil mendirikan Masjid Lasem. Konon tanah masjid itu adalah tanah pemerdekan yang dihadiahkan Kompeni untuk Mbah Sambu/Sayid Abdurrahman. Adapun Mbah Jabbar lebih memilih sistem non kopreshen. Beliau sama sekali tidak pernah mau bekerja sama dengan pemerintahan Kompeni. Inilah yang membedakan keduanya. Makam Mbah Sambu Makam Mbah Sambu terletak di sebelah utara makam Adipati Tejokusumo I. Tepatnya di sebelah barat laut masjid Lasem, Dusun Kauman, Desa Karangturi, Kecamatan Lasem kabupaten Rembang. Makam beliau berada di dalam cungkup yang berdenah bulat dan beratap kubah yang seluruhnya terbuat dari bata merah berlepa. Kemungkinan besar makam ini sudah dipugar beberapa kali—termasuk saat penulis berziarah, makam beliau juga sedang dalam pemugaran. Beliau dimakamkan di samping Isteri tercintanya Nyai Sambu (puteri Kiai Sabil Padangan). Mbah Sambu sampai saat ini dipercaya masyarakat Lasem sebagai tokoh yang memiliki banyak keturunan yang menyebar dan menjadi ulama dimana-mana. Terutama para ulama dan kiai di Jawa Tengah. Termasuk di antaranya adalah sesepuh tokoh NU Lasem, KH Abdul Hamid Baidlowi (Mbah Mik) Dan KH. Mochammad Siddiq, Jember. . Melacak Guru-Guru Syaikh Abduljabbar 1. Mbah Sanusi Mbah Jabbar (Syaikh Abduljabbar) mempunyai semangat menuntut ilmu yang tinggi. Suatu bukti, dalam pengasingannya di Jojogan, Mbah Jabbar (Syaikh Abduljabbar) masih menyempatkan diri memperdalam ilmu agamanya kepada seorang guru. Ia meminta petunjuk kepada Mbah Sarkowi (Mbah Ganyong)--sebagai tetua Jojogan—untuk mencari guru agama. Kepada siapakah beliau dapat memperdalam ilmu agama? Kemudian beliau menyarankan berguru kepada Syaikh Sanusi. Beliau seorang Waliullâh dan ahli ilmu agama yang tinggal tidak jauh dari kediaman Mbah Sarkowi. Akan tetapi sebagian masyarakat yang lain beranggapan, bahwa Syaikh Sanusi bukanlah guru Mbah Jabbar. Ia hanya seorang Waliullâh yang kebetulan lebih dahulu tinggal di daerah itu. Makam Mbah Sanusi sampai saat ini tidak diketahui secara pasti, karena keberadaannya dianggap ghaib oleh kebanyakan masyarakat Jojogan. Menurut cerita, hanya Mbah Sholeh Rengel lah (penguasa goa Ngerong, Tuban) yang mengetahui makam ghaib itu. Diceritakan suatu ketika Mbah Sholeh mengajak seseorang berziarah ke makam Mbah Sanusi. Di sebuah tempat mereka melihat sebuah makam dan mushallanya yang dikelilingi perkebunan jeruk. Mereka berziarah sebagaimana berziarah di makam-makam lain, membaca al-Fatihah, Yasin dan doa-doa untuk mayit, lalu pulang. Setelah Mbah Sholeh wafat, ia (orang tesebut di atas) mencoba ke tempat itu lagi untuk berziarah sendirian, namun tidak ditemukan satu makam pun di sana. Demikian halnya masyarakat yang sering ke tempat itu tidak pernah menyaksikannya sama sekali. Dari sinilah timbul mitos bahwa makam Mbah Sanusi itu benar-benar ghaib. Namun sekarang –entah untuk kepentingan apa—banyak orang membuat makam baru yang diberi nama makam Mbah Sanusi, salah satunya di petilasan Mbah Jabbar (Kedung Bantheng). Sedangkan dua makam lainnya terdapat di Logong. 2. Mbah Ganyong Sebagaimana Syaikh Sanusi, Mbah Ganyong juga dianggap sebagai guru Syaikh Abduljabbar. Hal ini ditengarai oleh pernyataan Mbah Ganyong sendiri ketika Syaikh Abduljabbar wafat. Konon, sesaat setelah wafat, bau harum semerbak keluar dari tubuh Mbah Jabbar. Lantas Mbah Ganyong --entah karena kebanggaan atau kesombongannya-- mengatakan pada murid-murid yang lain serta penduduk di sekitarnya, "Murid saya saja bisa harum semerbak seperti itu, apalagi kalau saya gurunya yang mati, mesti akan lebih harum lagi," kata Mbah Ganyong. Dari pernyataan Mbah Ganyong inilah masyarakat menganggap Mbah Ganyong adalah gurunya. Dari perbedaan-perbedaan cerita di atas ada dua kemungkin. Yakni, Mbah Ganyong adalah guru kanuragan Syaikh Abduljabbar dan Mbah Sanusi guru ilmu agamanya. Mengingat mereka mempunyai kelebihan masing-masing. Manakah yang lebih shahih? Wallâhu a’lam. Mengenai letak makam Mbah Sarkowi tidak seorangpun yang mempertentangkannya. Sebab keberadaannya sudah jelas dan diakui masyarakat. Masyarakat Jojogan sepakat bahwa makam Mbah Sarkowi terletak di desa Nglirip, sekitar dua ratus meter dari makam Mbah Jabbar. Makam Mbah Jabar terletak di atas bukit Nglirip, sementara makam Mbah Ganyong terletak di kaki bukit itu, tepatnya di pinggiran sungai yang tampak kumuh dan tak terpelihara, yang hanya diberi atap genting sederhana. Tempat tersebut tidak seperti makamnya Mbah Jabbar yang rapi, bersih, terpelihara dan megah bangunannya. Riwayat Hidup Mbah Jabbar (Syaikh Abduljabbar) Syaikh Abduljabbar adalah nama Islamnya. Sedangkan nama aslinya (Jawa) Pangeran Sumoyudo. Beliau seorang yang berdarah bangsawan, khususnya dari raja-raja Jawa. Seperti Raja Brawijaya (Raja Majapahit); Raden Patah (Raja Demak Bintoro I); Sultan Trenggono (Raja Demak bintoro II); Sultan Hadiwijoyo (Raja kerajaan Pajang I) dan Pangeran Benowo (Raja kerajaan Pajang III) Dilihat dari segi nasab (keturunan), baik dari jalur kakek maupun nenek, keduanya masih keturunan raja Brawijaya V yakni Adipati Joyodiningrat. Oleh karenanya beliau disebut ”Pangeran”. Selain itu beliau juga dikenal sebagai waliullâh, panglima perang dan musuh besar Kompeni Belanda. Beliau sangat dibenci dan ditakuti oleh Kompeni di Hindia Timur (Indonesia). Ibarat duri beliau adalah ’duri dalam daging’ Pemerintah Belanda, sehingga pada suatu saat terjadilah pertempuran yang sangat sengit antara keduanya. Akan tetapi beliau mengalami kekalahan kemudian ”lari” dari Pajang menuju daerah Nglirip, Tuban. Di tempat ini beliau tinggal di rumah seorang tokoh dan ahli ilmu kanuragan bernama Mbah Sarkowi atau lebih dikenal dengan Mbah Ganyong. Dari sinilah babak baru kehidupan Syaikh Abduljabbar dimulai. Syaikh Abduljabbar menjadikan Jojogan sebagai pusat aktifitasnya. Salah satu tempat tersebut bernama ”Kedung Banteng”. Menurut cerita lisan yang berkembang di masyarakat Jojogan, ”Kedung Banteng” adalah gudang persenjataan (pusaka) dan tempat penyimpanan barang-barang kerajaan. Tempat ini terletak di dalam hutan di pinggir kali/kedung , sebelah utara air sumber Krawak. Konon tempat ini juga digunakan sebagai pertapaan dan markas agresi Syaikh Abduljabbar melawan Kompeni Belanda. Entah karena sejarahnya atau apa, sekarang tempat ini juga sering dijadikan tempat uzlah (nyepi) orang-orang untuk mendapatkan wangsit atau tujuan-tujuan tertentu, seperti ilmu kanuragan dan semacamnya. Memang, jika dilihat dari segi letaknya, tempat ini sangat cocok untuk itu, sebab selain tempatnya sepi tempat ini juga dekat dengan sungai. Tempat ini menjadi bukti sejarah bahwa Syaikh Abduljabbar benar-benar seorang musuh besar dan buronan Kompeni. Suatu saat, untuk mengelabuhi kompeni beliau mengganti namanya menjadi Purboyo. Jadi, selain dikenal dengan nama Sumoyudo dan Abduljabbar, di tempat ini beliau juga dikenal dengan Pangeran Purboyo. Menurut beberapa narasumber, nama samaran seperti itu lazim digunakan pada zaman Belanda agar bisa mengelabuhi Kompeni. Karena pada masa itu nama-nama yang berbau Arab akan langsung diciduk oleh Kompeni. Lain halnya menurut KH. Sa’dan Maftuh (narasumber yang lain), nama-nama itu digunakan agar Belanda menjadi gentar dan minder mendengar musuh besar yang begitu banyak, padahal sebenarnya pemilik beberapa nama itu hanya satu orang. Mbah Jabbar Wafat Tidak ada sumber yang pasti –baik dari teks maupun para narasumber pada usia berapa dan kapan beliau wafat. Akan tetapi yang pasti, beliau meninggal dan dimakamkan di bukit Nglirip, Jojogan. Makamnya diapit oleh kedua makam Isterinya. Orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah (muqarrabîn) biasanya mempunyai keistimewaan di atas manusia rata-rata. Begitu pula dengan Mbah Jabbar. Ketika beliau wafat, ada keajaiban dan keistimewaan yang menandai bahwa beliau waliullâh. Diceritakan, sesaat setelah meninggal bau wangi menyeruak dari jasadnya, bau itu begitu harum hingga mengherankan bagi penduduk sekitar. Bahkan yang lebih ajaib lagi wangi itu tercium sampai luar desa Jojogan—yakni daerah Senori, Tanggir dan sekitarnya. Bagaimana peristiwa ini bisa terjadi adalah rahasia Allah swt. Namun Rasulullah saw pernah melukiskan, seorang hamba Allah yang beriman ketika menghadapi akhirat dan putus dari kehidupan dunia, para malaikat yang turun dengan muka yang putih berseri laksana matahari. Para malaikat itu datang dengan membawa kain kafan dan wewangian dari Surga. Kemudian malaikat maut datang dan duduk di dekat kepalanya seraya berkata: "Wahai nyawa yang tenang, keluarlah menuju ampunan dan keridlaan Allah.” Maka nyawa itu keluar dari jasadnya laksana air yang mengalir. Segera malaikat maut mengambilnya dan diletakkan pada kain kafan dan wewangian dari surga tanpa membiarkan sekejap pun nyawa itu dalam telapak tangannya. Kemudian keluarlah dari nyawa itu seperti harumnya minyak kasturi yang terdapat di muka bumi ini. Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn, Mbah Jabbar telah dipanggil oleh Allah swt dengan senyum kebahagiaan. Mungkin saat-saat seperti itulah yang dinantikan Mbah Jabbar. Kerinduan akan kampung akhirat telah terpenuhi. Sebagaimana kerinduan setiap orang yang beriman. Mati dalam keadaan husnul khâtimah. Mungkin bau harum itu tanda dari Allah bahwa Mbah Jabbar adalah seorang waliullâh. Supaya kita bisa mengambil pelajaran darinya. Wallâhu a’lam. Syekh Abduljabbar (Versi Tapelan) Versi ini sengaja saya sendirikan pembahasannya, karena (menurut penulis) versi inilah yang paling kontroversial di antara yang lain. Hampir semua narasumber saya –bahkan bisa dikatakan 99 persen dari mereka-- tidak sependapat dengan versi ini. Menurut versi ini Mbah Jabbar tidak mempunyai isteri dan apalagi anak. Menurutnya Mbah Jabbar meninggal ketika masih muda (perjaka). Hal ini terbantahkan ketika banyak sumber (baik dari Padangan, Gresik, Jojogan dan Yogyakarta) memberikan bukti-bukti autentik berupa catatan silsilah yang diwariskan secara turun-temurun, dan pemegang silsilah itu kebanyakan seorang Kiai. Mengenai cerita versi Tapelan ini, Mbah Zainuddin mengisahkan, suatu ketika Mbah Jabbar memanjat pohon Jambe, lalu dia terpleset dan terjatuh, seketika itu pula dia meninggal dunia. Yang mengherankan walaupun telah meninggal, jasadnya tidak bau sama sekali, bahkan kering dan wangi. Hal ini disaksikan banyak orang, termasuk Mbah Ganyong, gurunya sendiri. Lalu, entah karena bangganya atau apa, Mbah Ganyong berkata di hadapan orang-orang, ”shantri saya saja matinya kering seperti ini apalagi saya”. Konon tak lama setelah peristiwa itu Mbah Ganyong meninggal dunia. Namun bukan jasadnya mengering dan wangi, tapi sebaliknya, jasadnya membusuk dengan bau yang menyengat. Maka dilemparilah jasad itu dengan batu-batu hingga membentuk kuburan. Sampai saat ini pun kuburan itu masih ada, dan kuburannya sama persis dengan apa yang diceritakan, penuh dengan tumpukan batu yang menggunung seperti punden. Karamah & Keistimewaan Mbah Jabbar (Syaikh Abduljabbar) Di manapun seorang wali (kekasih Allah) pasti mempunyai karamah (keistimewaan) dan kelebihan. Kadang-kadang karamah itu begitu jelas dan terang benderang laksana matahari di siang hari. Dan tak jarang karamah itu dalam bentuk isyarat yang baru di pahami setelah orang itu meninggal. Demikian halnya Mbah Jabbar (Syaikh Abduljabbar). Ia mempunyai banyak karamah dan keutamaan baik ketika masih hidup dan sesudah wafat. Di antara karamah itu sebagai berikut; 1. Mbah Jabbar Dan Jin Salah seorang narasumber mengisahkan, Mbah Jabbar mempunyai shantri seorang Jin. Jin itu sangat tergila-gila dengan salah seorang Isteri Mbah Jabbar yang terkenal cantik jelita. Hingga pada akhirnya, timbullah niat jahat yang merasuk dalam hati jin itu. Suatu ketika dia menyarankan Mbah Jabbar mengerjakan ibadah haji, namun Mbah Jabbar menolaknya seraya mengatakan: "Aku iku urung kuoso". Kemudian Jin itu membujuknya kembali dengan menawarkan dirinya sebagai kendaraan. Dia berjanji untuk mengantarkannya sampai ke Mekkah al-Mukarramah. Di perjalanan, saat berada di atas laut rencana jahatnya dijalankan. Mbah Jabbar tiba-tiba dijatuhkan ke laut. Lalu jin kembali ke Jojogan untuk menggoda Isteri Mbah Jabbar. Sementara itu, konon Mbah Jabbar ditolong oleh ikan laut (lumba-lumba) hingga sampai ke daratan. Dan dalam sekejap dia kembali ke rumahnya di Jojogan. Ketika Jin itu sedang menggoda Isterinya, Mbah Jabbar tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Seketika jin itu dihajar dan ditaklukkan. Jin itu bersumpah untuk tidak mengganggunya lagi hingga anak turunnya nanti. Dari cerita ini muncullah mitos di masyarakat Jojogan bahwa orang yang berangkat haji tidak diperbolehkan lewat tempat itu (makam Mbah Jabbar) karena takut kecelakaan atau tidak pulang kembali. Mengomentari hal ini Kiai Yahya Masykur mengatakan bahwa hal itu hanyalah mitos dan tahayyul yang tidak perlu dipercayai dan ditakuti. Kiai Yahya sendiri pernah membuktikannya bahwa hal itu hanya tahayyul dan kebohongan. Dulu, ketika pemberangkatan haji, dengan sengaja dia lewatkan tempat itu. Buktinya tidak terjadi apa-apa dengan jamaah haji. Mereka pulang dengan Selamat. Wallâhu a’lam. 2. Jasad Mbah Jabbar (Syaikh Abduljabbar) Berbau Wangi Kisah berikut ini sudah mashur di kalangan masyarakat Jojogan dan sekitarnya. Ketika Mbah Jabbar kembali ke rafiqil a'lâ (meninggal), bau yang sangat wangi keluar semerbak dari jasadnya. Wangi itu membuat masyarakat Jojogan terkagum-kagum. Mbah Ganyong --sebagai guru Mbah Jabbar-- timbul kesombongan dalam hatinya, beliau berkata kepada orang-orang di sekitarnya, "Wong shantriku ae wangi ngene, opo meneh aku, gurune". (shantri saya saja begitu wangi, apalagi saya, gurunya."). Syahdan, ketika Mbah ganyong meninggal, bukan bau wangi yang tercium akan tetapi bau busuk menyeruak dari jasadnya. Seketika itu pula orang-orang dari daerah situ, termasuk orang-orang dari desa Senori melempari jasadnya dengan batu. Hingga jadilah sekarang makam Mbah ganyong yang penuh dengan batu. Dalam versi yang lain juga tidak jauh beda. Sebagaimana yang diceritakan dalam situs dzaffin.net berikut, ”Konon Mbah Jabbar ini adalah murid dari Mbah Ganyong. Pada suatu hari muridnya ini meninggal dunia dan jasadnya berbau harum semerbak, lalu gurunya yang bernama Mbah Ganyong ini entah karena kebanggaannya atau kesombongan, mengatakan pada murid-murid yang lain serta penduduk di sekitarnya, "Itu baru murid saya saja bisa harum semerbak seperti itu, apalagi kalau saya gurunya yang mati, mesti akan lebih harum lagi," kata Mbah Ganyong. Rentang satu minggu kemudian, Mbah Ganyong ini meninggal dunia, dan anehnya jasadnya berbau amis menyengat dan membusuk. Maka oleh murid-muridnya dan penduduk sekitar jasad Mbah Ganyong dilempari batu, hingga lemparan batu itu menumpuk menutupi seluruh jasad Mbah Ganyong. Sehingga sekaligus membentuk punden tumpukkan batu sebagai makam Mbah Ganyong. Menyikapi cerita ini, para kiai di sekitar situ memilih untuk berhusnudhon. Menurut mereka cerita ini hanyalah contoh bahwa ketakaburan itu jelek yang tidak patut dilakukan oleh seorang muslim. Sedangkan Mbah Ganyong tetaplah seorang waliullâh, wallâhu a’lam. Hal senada juga dikatakan oleh Cak Nun (MH. Ainun Najib, pendiri dan pengasuh jamaah Padang Bulan), "Kita semua harus belajar ilmu Allah ini dari Mbah Ganyong, karena ini semua baru pandangan dunia, atas dan bawah, guru dan murid. Yang di atas itu belum tentu lebih mulia dari yang di bawah, yang busuk di dalam pandangan dunia ('ainunnâs) belum tentu busuk juga dalam pandangan Allah ('ainullah). Mbah Ganyong ini justru telah diselamatkan oleh Allah, sebab ia telah membayar kaffarah atas kibriyahnya. Ia terus saja dianggap busuk sepanjang abad oleh manusia tetapi ia sesungguhnya harum di hadapan Allah. Ia hanya dilempari batu oleh manusia tapi tidak oleh malaikat Allah. Maka ketika saya berada di makam Mbah Djabar, saya merasakan bau yang kadang wangi, kadang berbau busuk, tetapi ketika saya berlama-lama di makam Mbah Ganyong justru saya tidak menemukan bau apa-apa kecuali ketenangan dan kearifan. Kita belajar dari ini semua, masak hanya karena satu kesalahan saja, bisa merusak seluruh kebaikan yang pernah ia lakukan, wallâhu a'lam.” Oleh karenaya, walaupun citra mbah Ganyong kurang baik, namun makamnya juga sering diziarahi masyarakat dari berbagai daerah dan kalangan karena beliu masih dianggap waliullâh. 3.Genteng Cungkup Makam Syaikh Abduljabbar Mungkin bila dilihat dengan mata telanjang, sekilas genteng yang terdapat pada cungkup makam Mbah Jabbar sama persis dengan cungkup-cungkup makam lainnya (terbuat dari tanah, berbentuk segi empat, berbentuk layaknya genteng-genteng pada umumnya). Namun ternyata ada keistimewaan yang lebih pada genteng itu. Diceritakan, suatu ketika KH. Ma’shum Sufyan (Pendiri Pondok Pesantren IHYAUL ULUM Dukun-Gresik) berziarah ke makam Mbah Jabbar. Tanpa disengaja beliau melihat genteng cungkup makam jatuh dari atapnya. Lantas dengan rasa kepedulian yang tinggi beliau mengembalikan genteng tersebut ke tempat semula. Juru kunci makam yang melihat hal itu merasa keheranan, karena Selama ini tidak ada yang bisa mengembalikan genteng yang jatuh kecuali dzurriah Mbah Jabbar sendiri. Masih dengan perasaan kagum, penjaga makam tersebut memanggil KH. Ma’shum Sufyan, ”Wahai tuan, tidakkah kau tahu bahwa tidak ada yang bisa mengembalikan genteng itu ketempatnya kecuali dzurriahnya? Apakah kamu dzurriah Mbah Jabbar wahai saudaraku?”. Ternyata benar adanya, berdasarkan pengakuan KH. Ma’shum Sufyan sendiri, beliau memang keturunan Syaikh Abduljabbar ke-9. Dia menjelaskannya dengan tawadlu’. Seketika itu pula KH. Ma’shum Sufyan dijamu penjaga makam tersebut dengan penghormatan sebagaimana tamu-tamu terhormat. 4.Naik Kuda Di Atas Air Cerita ini tidak banyak orang yang tahu, termasuk para narasumber penulis wawancarai kecuali Gus ’Adhim (Jombang). Beliau menuturkan ”Salah satu karamah Mbah Jabbar adalah naik kuda di atas air”. Bagaimana perisnya peristiwa ini? wallâhu a’lam. 5.Makamnya Banyak Diziarahi Hingga Sekarang. Salah satu keistimewaan para wali adalah diziarahi dan banyak didoakan orang sepanjang hari, sepanjang tahun. Demikian halnya dengan Syaikh Abduljabbar ini. Sejak beliau wafat hingga saat ini tidak sedikitpun surut orang yang menziarahinya. Bahkan semakin hari semakin bertambah. Peziarah tersebut datang dari segala penjuru Jawa Timur, Tuban dan Bojonegoro tanpa perbedaan ras, partai maupun golongan. Mereka datang dengan membawa nadzar dan niatnya masing-masing. Mitos Yang Berhubungan Dengan Makam Mbah Jabbar Mitos menurut bahasa merupakan kepercayaan primitif tentang sesuatu yang ghaib yang timbul dari usaha manusia yang tidak ilmiah dan tidak berdasarkan pada pengalaman yang nyata untuk menjelaskan dunia atau alam disekitarnya. Mitos-mitos ini seringkali muncul di tempat-tempat yang dianggap keramat oleh sebagian orang. Makam Mbah Jabbar pun tidak lepas dari mitos seperti ini. Dari dahulu hingga kini mitos itu masih mengakar kuat pada masyarakat Jojogan dan sekitarnya. Terutama orang-orang awwam yang tergolong kurang ilmu agamanya. Setidaknya ada dua mitos yang berhubungan dengan makam Mbah Jabbar ini; Yang pertama tentang larangan bagi orang yang hendak melaksanakan ibadah haji melewati jalan yang menghubungkan makam Mbah Jabbar, karena dikhawatirkan tidak bisa kembali ke tanah air. Mengenai hal ini Kiai Yahya Masykur --selaku penasehat makam-- menegaskan, bahwa hal itu hanyalah mitos dan tahayyul yang tidak perlu dipercayai dan ditakuti. Kiai Yahya sendiri pernah membuktikannya bahwa hal itu hanya tahayyul dan kebohongan. Dulu, ketika pemberangkatan haji, dengan sengaja di lewatkan tempat itu. Akan tetapi tidak terjadi apa-apa dengan jamaah haji. Mereka pulang dengan Selamat atas kehendak Allah. Kedua, tentang larangan bagi pejabat ziarah di tempat ini, karena dikhawatirkan akan jatuh (dipecat) dari jabatannya. Menurut penulis mitos-mitos seperti di atas tidak perlu dipercayai dan apalagi ditakuti. Percaya pada mitos-mitos seperti itu akan mempersempit jalan pikiran seseorang dan bahkan mendangkalkan aqidah. Dzurriah Syaikh Abduljabbar Ulasan ini dipandang perlu mengingat pada saat ini banyak dzurriah Syaikh Abduljabbar yang bertebaran di negeri ini sebagai pemimpin dan ulama. Mereka tampil dalam berbagai bidang, baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Sebagian menekuni dunia keagamaan dan pendidikan. Bahkan pendiri pesantren di tanah jawa ini, jika diruntut geneologinya, ternyata masih ada hubungan dengan Syekh Abduljabbar. Jika Mbah Sambu dipercaya masyarakat menurunkan ulama-ulama Jawa Tengah, maka Mbah Jabbar dipercaya menurunkan ulama-ulama Jawa Timur. Di antara Ulama dan kiai itu antara lain KH. Abdullah Fakih (Pengasuh Ponpes Langitan), KH. Abduljabbar (Maskumambang), KH. Abdullah Fakih (Maskumambang), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) , Kiai Maimun Basyir (Pengasuh Ponpes al-Basyir, Pethak), KH. Munawwir (Pengasuh Ponpes Raudlotuth-Tholibin), KH. Ma’shum Sufyan (Pendiri ponpes IHYAUL ULUM), KH. Machfud Ma’shum, KH, Sa’dan Maftuh, BA, Dr. KH. Robbah Ma’shum (Bupati Gresik) dan masih banyak lagi ulama keturunan Syaikh Abduljabbar yang menyebar di seantero tanah Jawa ini yang belum terungkap.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.