PAS GANJIL 23-24
PENILAIAN SIKAP
Klik dan isi 8 aspek berikut
👇👇👇👇👇
diceritakan bahwasnnya KH Abdul Hamid Pergi ke Baghdad setiap tahun. Bermula dari kisah yang dialami langsung oleh Kiai Masyhudi, Sanan Kulon, Blitar, yang diceritakan sekitar tahun 2007 hingga 2008 sebelum wafat. Sebelumnya kisah ini tidak pernah diceritakan ke siapa pun, hal itu atas permintaan Kiai Hamid sendiri ketika masih hidup.
Alkisah, di awal tahun 80-an Kiai Masyhudi melaksanakan ibadah haji, pada saat shalat Jumat di Masjidil Haram. Tanpa sengaja berkenalan dengan seorang syekh dari Bagdad yang bernama Syekh Hasan. Mengingat keduanya memang alim dan fasih, perkenalan berbincangan menjadi akrab diliputi kehangatan dalam bahasa Arab.
Kejanggalan terjadi saat Kiai Masyhudi mengenalkan bahwa dirinya berasal dari Jawa Timur. Syekh Hasan bertanya yang jika di Indonesiakan kurang lebih begini, "Apakah Anda kenal dengan Kiai Abdul Hamid Pasuruan?" Kiai Masyhudi agak kaget dan balik bertanya: "Beliau itu guru kami yang masyhur kealimannya. Ya Syekh Hasan. Dari mana anda mengenal Kiai Hamid?" Ternyata jawaban Syekh Hasan lebih mengagetkan lagi, yang intinya bahwa ia kenal baik dengan Kiai Abdul Hamid Pasuruan, sebab sang kiai selalu hadir pada acara haul Syekh Abdul Qodir Jaelani di Bagdad. Tidak hanya itu, saat di Bagdad Kiai Hamid selalu bermalam di rumah Syekh Hasan ini rutin setiap tahun. Singkat cerita, selepas shalat Jumat sebelum keduanya berpisah, Syekh Hasan mengakhiri percakapannya dengan menitipkan salam kepada Kiai Hamid, yang intinya Syekh Hasan menunggu kedatangan Kiai Hamid pada haul Syekh Abdul Qodir tahun depan di rumahnya di Baghdad. Sesampainya di Tanah Air, karena amanah titipan salam Syekh Hasan, Kiai Masyhudi sowan langsung kepada Kiai Hamid. Baru sampai di depan rumah, sang tuan rumah langsung keluar mempersilakan Kiai Masyhudi masuk, seolah sudah tahu maksud kedatangan tamunya. Bahkan Kiai Hamid mendahului menyapa dengan berbisik ke telinga Kiai Masyhudi, "Nak Masyhudi, jangan cerita ke siapa-siapa ya kalau bertemu Syekh Hasan. Salam sudah saya terima, mohon jangan cerita siapa-siapa." Setelah Kiai Hamid wafat, Kiai Masyhudi menyampaikan kisah ini kepada salah satu menantu Kiai Idris (putra Kiai Hamid) agar menanyakan langsung ke Kiai Idris Hamid, apakah dahulu abahnya setiap tahun selalu pergi ke Baghdad? Namun putra Kiai Hamid itu menjelaskan, bahwa abahnya belum pernah pergi jauh ke mana-mana, kecuali pada saat melaksanakan haji. Subhanallah, karamahnya para wali. Memang, dalam buku Ziarah Wali Kiai Hamid Pasuruan dan Tradisi Islam Nusantara karangan Dr. Badruddin, M.HI diceritakan karamah Mbah Hamid weruh sakdurunge winarah (Tahu sebelum kejadian). Diceritkan, suatu ketika ada seorang tamu dari luar kota sowan kepada Kiai Hamid. Seperti biasa para tamu memberikan amplop atau uang kepada Kiai Hamid sebagai bentuk penghormatan atau dikenal dengan istilah 'salam templek'. Orang yang sowan ingin memberikan uang sebesar 10 ribu rupiah kepada Kiai Hamid. Namun, karena terburu-buru, dia belum sempat menukarkan uang sehingga masuk ke ndalem Kiai Hamid dia mempunyai selembar uang 10 ribu rupiah. Rencananya uang 10 ribu rupiah diberikan kepada Kiai Hamid dan sisanya dibuat ongkos pulang ke daerahnya. Dia mencoba menukarkan uang kepada para tamu di sampingnya, tetapi para tamu tidak ada yang mempunyai uang pecahan 10 ribu rupiah. Tiba-tiba Kiai Hamid keluar untuk menemui para tamu, termasuk orang tadi. Semua tamu bergegas sowan dan duduk di depan Kiai Hamid. Setelah selesai semua tamu berpamitan kepada Kiai Hamid, termasuk orang itu. Mungkin karena orang itu gugup selembar uang 20 ribu rupiah langsung diberikan kepada Kiai Hamid. Sebelum orang itu berpaling Kiai Hamid merogoh sakunya, lalu mengatakan kepada orang tersebut, "Ini kembaliannya 10 ribu rupiah." Orang tersebut pun langsung bengong.
Kisah pembangunan pesantren yang dituturkan oleh KH. Arifin, yang berusia 59 tahun yang merupakan pengajar di Pondok Pesantren Mambaus Solihin, adik ipar KH. Masbuhin Faqih.
Sekitar tahun 1969, KH. Abdullah Faqih Suci Gresik mulai merintis pembangunan pondok pesantren ini. Tentu saja tidak bisa langsung magrong-magrong seperti sekarang. Bangunan yang didirikan hanya sebuah surau kecil yang terbuat dari kayu, yang sering disebut langgar. Sebuah tempat yang diperuntukkan untuk aktivitas belajar mengaji Al-Qur`an dan Kitab Kuning.
Pada tahun 1976, putra pertama KH. Abdullah Faqih Suci yang bernama KH. Masbuhin Faqih telah mendapat restu dari gurunya, KH. Abdullah Faqih, pengasuh Pesantren Langitan Widang Tuban untuk berjuang di tengah masyarakat. Namun Kyai Masbuhin masih ragu untuk langsung mendirikan sebuah pesantren. Salah satu hal yang membuat beliau ragu adalah kekhawatiran akan timbulnya nafsu terselubung di dalam hati. Misalnya niat yang bukan semata-mata karena Allah.
Berkat dorongan dari guru-guru beliau, yaitu KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Abdullah Faqih Langitan, KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Utsman Al-Ishaqi, serta keinginan luhur beliau untuk menyebarkan ilmu, maka didirikanlah sebuah pesantren yang kelak bernama Mambaus Sholihin.
Adapun dana pertama kali yang digunakan untuk membangun pondok pesantren ini adalah pemberian guru beliau, yaitu KH. Abdullah Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban. Pada saat pendirian pesantren, KH. Masbuhin Faqih masih menimba serta mendalami ilmu di Pondok Pesantren Langitan Widang, Tuban
Sebelum Pesantren Mambaus Sholihin didirikan, KH. Abdullah Faqih Langitan Widang sempat mengunjungi lokasi yang akan digunakan untuk membangun pesantren tersebut. Setelah mengelilingi tanah tersebut, Kiai Faqih Langitan Widang itu berkata kepada Kyai Masbuhin
“Yo wis, tanah iki pancèn cocok kanggo ndirikno pondok pesantren. Mulo ndang cepet bangunen… (Ya sudah, tanah ini memang cocok untuk mendirikan pesantren. Makanya, segera cepat dibangun..)”
Selain KH. Abdullah Faqih, banyak Masyayikh dan Habaib juga berkunjung ke lokasi tersebut. Diantara para sesepuh yang hadir adalah KH. Abdul Hamid (Pasuruan), KH. Utsman Al-Ishaqi (Surabaya), KH. Dimyati Rois (Kaliwungu), Habib Al Idrus, dan Habib Macan dari Pasuruan.
Pembangunan Musholla Pondok Pesantren Mambaus Sholihin yang sekarang merupakan Pondok Barat baru dilakukan pada tahun 1983. Saat itu, KH. Masbuhin Faqih sedang menunaikan ibadah haji yang pertama. Adapun yang menjadi modal awal pembangunan adalah uang yang dititipkan kepada adik beliau, KH. Asfihani Faqih yang nyantri di Pesantren KH. Abdul Hamid Pasuruan.
Pada saat itu KH. Asfihani Faqih turun dari tangga sehabis mengajar. Ujuk-ujuk, muncul seorang lelaki yang tidak dikenal. Lelaki itu memberikan sekantong uang lalu pergi dan menghilang.
Keesokan harinya, KH. Asfihani dipanggil gurunya, Mbah Kiai Hamid Pasuruan.
“Asfihani, saya ini pernah berjanji untuk menyumbang pembangunan rumah santri (pondok), tetapi hari ini saya tidak punya uang. Yai silihono dhuwit po’o, Nak! (Yai pinjami uang dulu ya, Nak!)”, kata Mbah Hamid.
“Kyai, tadi malam sehabis mengajar, saya diberi orang sekantong uang. Kula mboten kenal tiyang niku (saya tidak kenal orang itu)”, jawab Kyai Asfihani
“Êndi saiki dhuwité. Ayo ndang diitung… (sekarang mana uangnya, ayo segera dihitung)”, kata Mbah Hamid kemudian
Kyai Asfihani pun mengambil uang tersebut. Setelah dihitung, sekantong uang tersebut berjumlah Rp. 750.000,-. Kyai Hamid lalu memberi isyarat, bahwa yang memberikan uang tersebut adalah Nabi Khidir.
Kemudian KH. Abdul Hamid Pasuruan berkata pada KH. Asfihani : “Nak, saiki ndang muliyo. Duwit iki kèkno abahmu. Kongkonên bangun mushola… (Nak, sekarang cepat pulang. Uang ini kasihkan abahmu untuk bangun mushala..)”.
Mendengar perintah itu, akhirnya Kyai Asfihani lalu pulang ke Gresik untuk menyampaikan pesan Kyai Hamid kepada ayahnya.
Saat pondok induk masih dalam taraf penyelesaian, Kyai Hamid Pasuruan datang dan memberi sebuah bola lampu neon untuk penerangan. Padahal saat itu listrik belum masuk Desa Suci. Karena yang memberi bukan orang sembarangan, maka pengasuh pesantren yakin bahwa itu semua merupakan isyarat tentang tujuan pendirian sebuah pondok pesantren. Memberi penerangan seperti lampu.
Agus Muhammad Ma'ruf pernah menyampaikan saat Haflah maulid tahun 2023, bahwa pemberian lampu tersebut merupakan isyarat dan harapan semoga santri Mamba'us Sholihin dapat menjadi seperti sebuah lampu yang menyinari masyarakat sekitar. Amin.
Created By Themexpose · Powered by Blogger
All rights reserved